Uang Rakyat yang Tertidur: Ketika Amanah Mengendap di Bank Komersial


Oleh: K.D. Andaru Nugroho*)

 

UANG RAKYAT YANG TAK BEKERJA

Ketika Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengonfirmasi bahwa terdapat Rp285,6 triliun dana pemerintah yang mengendap di bank komersial per Agustus 2025, publik terhenyak. Angka ini naik dari posisi Desember 2024. Uang sebesar itu — yang semestinya menggerakkan pembangunan, subsidi, dan pelayanan publik — justru tertidur di rekening perbankan.

Fenomena ini bukan sekadar anomali fiskal, melainkan potret buram tata kelola keuangan negara. Ia menimbulkan serangkaian pertanyaan mendasar: bagaimana uang sebesar itu bisa “terlupa” di bank komersial? Apakah ini kelalaian sistem atau kesengajaan yang dibungkus prosedur? Dan yang paling penting — siapa yang diuntungkan dari uang yang tak bekerja ini?

Kasus ini menguji kejujuran pemerintah terhadap amanah publik. Sebab uang rakyat yang mengendap adalah pembangunan yang tertunda, harapan yang menggantung, dan kepercayaan yang terkikis.

 

MENGAPA DANA PUBLIK MENGENDAP

Fenomena pengendapan dana sebenarnya bukan hal baru. Setiap tahun, laporan keuangan menunjukkan rendahnya serapan anggaran di sejumlah kementerian dan daerah, dengan alasan klasik: proses tender yang lambat, revisi DIPA yang berbelit, hingga kehati-hatian pejabat agar tak “salah langkah”.

Namun, di balik alasan teknis itu tersembunyi masalah struktural: sistem birokrasi yang terlalu berhati-hati, lamban, dan sering kali kehilangan keberanian untuk bertanggung jawab. Uang negara akhirnya “diparkir” di bank komersial, menunggu penyerapan yang tak kunjung tiba.

Masalah lain: ketidaksinkronan antar lembaga fiskal dan perbankan. Ketika mekanisme kontrol kas tidak berjalan real-time, dana besar bisa tersimpan berbulan-bulan tanpa aktivitas ekonomi nyata. Akibatnya, uang rakyat justru menjadi sumber likuiditas murah bagi bank, bukan sumber kesejahteraan bagi rakyat.

 

DI ANTARA KESEMPATAN DAN KECURIGAAN

Kita patut bertanya: apakah fenomena ini murni keteledoran administratif, atau ada kesengajaan sistemik di baliknya? Jika diselidiki lebih dalam, dana yang “terparkir” di bank tidak hanya memberikan kenyamanan bagi pejabat yang ingin aman dari risiko, tetapi juga keuntungan bagi pihak perbankan. Bank dapat memutar dana besar tersebut tanpa biaya bunga, sementara rakyat menunggu manfaat fiskalnya.

Inilah wilayah abu-abu antara teknokrasi dan moralitas. Tidak ada pelanggaran hukum eksplisit, tetapi ada pelanggaran etika publik yang nyata. Dalam bahasa sederhana: uang negara bekerja untuk keuntungan sistem, bukan untuk kesejahteraan rakyat.

Menteri Keuangan sudah menyatakan akan menginvestigasi sumber dan posisi dana itu. Namun publik berharap lebih: bukan sekadar audit angka, melainkan audit nurani — siapa yang membiarkan uang publik tidur begitu lama?

 

 JEJAK PENGENDALIAN DAN MODUS SISTEM

Bagaimana uang negara bisa begitu lama tertahan? Modusnya bisa berlapis. Ada dana transfer ke daerah yang belum diserap karena pemerintah daerah menunggu pencairan tahap berikut, atau proyek yang tertunda karena proses lelang bermasalah. Namun ada juga kemungkinan lain: dana sengaja disimpan untuk kepentingan tertentu, baik demi menjaga “hubungan” dengan bank tertentu, maupun untuk mendapatkan manfaat imbal jasa giro yang tidak transparan.

Sementara itu, sistem pengawasan yang masih manual memungkinkan terjadinya floating fund — dana yang tidak segera tercatat sebagai pengeluaran, namun juga tidak dikembalikan ke kas negara.  Akibatnya, uang triliunan rupiah bisa mengendap tanpa menghasilkan manfaat ekonomi. Negara rugi dalam dua hal sekaligus: tidak ada pembangunan yang berjalan, dan tidak ada perputaran fiskal yang produktif.

Kasus ini menegaskan betapa lemahnya koordinasi antar unit pengelola kas di tingkat kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah. Ketika data kas tidak terintegrasi secara nasional, maka uang rakyat menjadi seperti “bola liar” dalam sistem keuangan negara sendiri.

 

REFLEKSI MORAL DAN KRISIS AMANAH

Uang negara adalah uang amanah. Ia bukan milik pemerintah, tetapi titipan rakyat yang wajib dikelola dengan hati bersih dan sistem yang jujur. Ketika dana sebesar Rp285,6 triliun mengendap tanpa produktivitas, yang rusak bukan hanya sistem fiskal, tetapi juga moral pengelolanya.

Krisis ini memperlihatkan wajah birokrasi yang lebih takut salah daripada ingin benar. Pejabat keuangan publik sering menunda keputusan dengan alasan prosedur, padahal yang dibutuhkan rakyat adalah keberanian untuk berbuat tepat. Dalam kondisi seperti ini, profesionalisme tanpa integritas justru melahirkan stagnasi: uang ada, tapi tidak bekerja. Lebih berbahaya lagi, pembiaran semacam ini lama-lama dianggap wajar. Masyarakat terbiasa mendengar istilah “serapan rendah” atau “revisi anggaran”, padahal di balik istilah teknis itu tersembunyi kemalasan struktural dan kelengahan moral.

Reformasi fiskal sejati harus dimulai dari kejujuran dan transparansi, bukan hanya efisiensi teknokratis. Karena uang publik bukan sekadar angka — ia adalah wajah kepercayaan rakyat terhadap negaranya.

 

SERUAN UNTUK BANGSA: MEMBANGUNKAN UANG YANG TERTIDUR

Kasus ini harus menjadi peringatan keras bagi negara. Audit menyeluruh terhadap dana yang mengendap bukan hanya soal disiplin fiskal, tetapi soal kehormatan publik. Pemerintah harus membuka data kas secara real-time dan menjelaskan ke mana uang itu tertahan. Publik berhak tahu — karena uang itu milik rakyat.

Kepada para pejabat publik: ingatlah, setiap rupiah yang kalian kelola adalah doa rakyat yang menunggu dikabulkan. Jangan biarkan uang rakyat diam karena ketakutan administratif atau permainan kepentingan. 

Kepada masyarakat dan media: jangan berhenti mengawasi. Transparansi fiskal hanya bermakna jika publik turut serta menjaga integritasnya.

Akhirnya, bangsa ini tidak kekurangan dana — yang kita kekurangan adalah kejujuran untuk mengelolanya dengan amanah. Jika uang negara masih bisa mengendap tanpa rasa bersalah, maka yang sesungguhnya mengendap bukanlah dana, melainkan kesadaran moral kita sebagai bangsa.


*) Pensiunan TNI, Pemerhati kesadaran bela negara

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERMASALAHAN PEMBENTUKAN KOMCAD

STRATEGI PERTAHANAN NIRMILITER MEMBANGUN DAN MEMBINA KEMAMPUAN DAYA TANGKAL NEGARA DAN BANGSA MENGHADAPI ANCAMAN NONMILITER

ASPEK POLITIK DAN KEPENTINGAN NASIONAL DALAM PENYUSUNAN STRATEGI PERTAHANAN