Reformasi POLRI 2025
"Misteri Dua Tim Reformasi Polri:
Membaca dari Kacamata Kebijakan Publik dan Teori Organisasi"
Oleh: K. D.
Andaru Nugroho*)
Dua Tim
dalam Satu Lembaga
Reformasi Polri kembali menjadi sorotan publik
setelah Presiden menunjuk mantan Wakapolri Komjen (Purn) Dofiri untuk membentuk
Tim Reformasi Polri. Penunjukan ini dianggap sebagai jawaban atas tuntutan 17+8
yang mengemuka di tengah gelombang kritik terhadap institusi kepolisian. Namun,
di saat publik masih menunggu pembentukan tim yang dipimpin Dofiri, Kapolri
Jenderal Listyo Sigit Prabowo justru mengumumkan pembentukan Tim Reformasi
Internal Polri beranggotakan 52 jenderal aktif. Fenomena ini segera memunculkan
pertanyaan: mengapa harus ada dua tim reformasi di tubuh Polri, dan apa
implikasinya terhadap proses perubahan yang dijanjikan?
Di balik hiruk-pikuk politik dan sorotan media, dua
tim reformasi ini ibarat cermin yang memantulkan wajah Polri hari ini. Ada
kesan ketergesaan, ada pula aroma persaingan kewenangan antara mandat Presiden
dan inisiatif Kapolri. Publik pun bertanya-tanya apakah langkah Listyo Sigit
ini murni inisiatif internal, atau justru skenario politik yang juga mendapat
restu dari Presiden. Pertanyaan tersebut membuka ruang analisis dari berbagai
perspektif—mulai dari kebijakan publik, teori pengembangan organisasi, hingga
pendekatan prismatik F.W. Riggs—untuk memahami lebih dalam dinamika yang sedang
berlangsung.
Perspektif
Kebijakan Publik: Antara Mandat Politik dan Manuver Birokrasi
Setiap kebijakan publik pada dasarnya lahir dari
tekanan, tuntutan, dan aspirasi masyarakat. Model sistem politik David Easton
menyebutkan bahwa kebijakan adalah hasil dari “input” berupa tuntutan publik
yang kemudian diproses oleh lembaga negara untuk menghasilkan “output” berupa
keputusan. Dalam konteks Polri, tuntutan 17+8 menjadi input yang sangat kuat,
sehingga Presiden pun mengeluarkan kebijakan menunjuk Dofiri sebagai ketua tim
reformasi. Langkah ini merupakan bentuk policy design, yakni rancangan
kebijakan yang bersifat strategis dan sekaligus simbolik di mata rakyat.
Namun, kebijakan publik tidak selalu berjalan
lurus. Pembentukan Tim Reformasi Internal oleh Kapolri menghadirkan dimensi
lain dalam dinamika kebijakan tersebut. Publik melihat adanya dua arus yang
seolah berjalan paralel: di satu sisi tim Dofiri mengemban mandat politik
Presiden, di sisi lain tim Kapolri memegang kendali teknis internal. Di sinilah
muncul potensi persepsi negatif, seakan-akan terjadi tumpang tindih atau bahkan
perebutan ruang kendali. Padahal, bisa jadi keduanya sebenarnya diproyeksikan
saling melengkapi—tim eksternal merumuskan arah, sementara tim internal
menyiapkan detail pelaksanaan. Masalahnya, komunikasi politik yang minim
membuat publik lebih cepat membaca ini sebagai manuver birokrasi ketimbang
strategi kebijakan yang terintegrasi.
Perspektif
Pengembangan Organisasi: Diagnosis dan Resistensi
Dalam teori pengembangan organisasi, setiap proses
perubahan dimulai dari diagnosis yang jernih atas persoalan, kemudian
dilanjutkan dengan intervensi yang tepat, dan ditutup dengan evaluasi untuk
memastikan keberlanjutan. Bila ditarik ke dalam konteks reformasi Polri, Tim
Dofiri dapat dipandang sebagai diagnostician eksternal yang bertugas
membaca ulang penyakit kronis di tubuh kepolisian. Sedangkan Tim Internal
Kapolri cenderung berperan sebagai agen intervensi yang langsung bersentuhan
dengan masalah sehari-hari di level operasional.
Sayangnya, pola semacam ini sering kali tidak
berjalan mulus. Organisasi yang besar seperti Polri cenderung memperlihatkan
resistensi terhadap perubahan, terutama jika perubahan tersebut datang dari
luar struktur komando. Pembentukan Tim Internal bisa jadi merupakan bentuk
resistensi halus—yakni upaya menjaga agar kendali reformasi tidak sepenuhnya
didefinisikan oleh tim eksternal bentukan Presiden. Pola ini bukan hal baru
dalam birokrasi Indonesia. Kita bisa menengok pengalaman reformasi di lembaga
lain, seperti Kejaksaan atau bahkan TNI, di mana intervensi eksternal sering
memicu respons defensif dari dalam tubuh organisasi. Dengan kata lain, fenomena
dua tim reformasi ini lebih dari sekadar teknis; ia adalah ekspresi tarik-menarik
antara semangat perubahan dan naluri mempertahankan status quo.
Perspektif
Teori Prismatik F.W. Riggs: Polri di Antara Dua Dunia
Fenomena dua tim reformasi Polri sangat cocok
dibaca menggunakan teori prismatic society dari F.W. Riggs. Teori ini
menjelaskan bahwa lembaga di negara berkembang sering berada di posisi antara:
tidak sepenuhnya tradisional, tapi juga belum sepenuhnya modern. Polri, sebagai
institusi birokratis sekaligus aktor politik, jelas berada dalam tarik-menarik
dua dunia itu.
Di satu sisi, Polri diharapkan menjalankan peran
modern: transparan, akuntabel, dan profesional dalam menjaga hukum. Namun, di
sisi lain, Polri juga masih terikat pada pola tradisional berupa budaya
patronase, loyalitas personal, dan ketergantungan pada sinyal politik dari
penguasa. Munculnya dua tim reformasi—tim eksternal yang dimandatkan Presiden
dan tim internal yang dipimpin Kapolri—adalah gejala khas dari model prismatik:
satu masalah melahirkan banyak solusi yang tumpang tindih karena sistem belum
mapan.
Kondisi ini menimbulkan implikasi ganda. Di satu
pihak, adanya dua tim bisa dianggap sebagai wujud keseriusan negara untuk
melakukan perubahan dengan pendekatan multi-level. Namun di pihak lain, publik
bisa menilainya sebagai kebingungan struktural, bahkan potensi tarik-menarik
kepentingan. Dalam bahasa Riggs, Polri berada dalam situasi overlapping—ketika
fungsi politik, sosial, dan administratif bercampur tanpa batas yang jelas.
Jika tidak dikelola, situasi prismatik ini bisa menambah beban organisasi,
bukannya mempercepat reformasi.
Misteri
Politik dan Persepsi Publik
Publik tidak hanya menilai substansi, tetapi juga
membaca simbol. Kemunculan dua tim reformasi Polri akhirnya menjadi bahan
spekulasi politik di ruang publik. Sebagian kalangan melihatnya sebagai sinyal
disharmoni: Kapolri ingin mengendalikan narasi reformasi dari dalam, sementara
Presiden menunjuk figur eksternal untuk mengawasi dari luar. Pandangan lain
menyebut bahwa kedua tim ini sebenarnya saling melengkapi, hanya saja
komunikasi politiknya tidak disampaikan dengan baik sehingga menimbulkan kesan
tumpang tindih.
Di mata masyarakat, simbol ini justru lebih penting
ketimbang detail teknis. Polri saat ini tengah menghadapi krisis legitimasi
setelah berbagai kasus besar yang mengguncang kepercayaan publik. Karena itu,
setiap langkah pembenahan akan selalu ditafsirkan secara politis. Dua tim
reformasi yang seharusnya memperkuat kesan keseriusan justru terbaca ambigu:
apakah negara benar-benar ingin membongkar akar masalah, atau hanya mengulur waktu
dengan membentuk banyak tim?
Media massa memainkan peran penting dalam
membingkai persepsi ini. Berita-berita tentang “dua tim reformasi” lebih banyak
mengangkat sisi misteri politik ketimbang analisis teknokratis. Narasi yang
muncul adalah kebingungan, tarik-menarik elit, bahkan sinyal manuver kekuasaan
menjelang agenda politik tertentu. Akibatnya, publik semakin ragu: apakah
reformasi Polri ini akan menghasilkan perubahan nyata, atau sekadar pertunjukan
birokratis yang berakhir tanpa hasil.
Jalan ke Depan:
Reformasi Polri yang Ideal
Reformasi sejati hanya mungkin terjadi jika dua
jalur—eksternal dan internal—mampu bersinergi. Dalam teori pengembangan
organisasi, perubahan yang efektif membutuhkan keterlibatan aktor dari luar
yang memberi perspektif segar sekaligus komitmen internal untuk melaksanakan.
Dengan kata lain, tim Dofiri dan tim Kapolri tidak seharusnya diposisikan
sebagai rival, melainkan sebagai pasangan kerja dengan pembagian peran yang
jelas.
Prasyarat utamanya adalah transparansi. Publik perlu
tahu apa mandat, ruang lingkup, dan target dari masing-masing tim. Tanpa
keterbukaan, reformasi hanya akan tampak sebagai permainan elit yang jauh dari
aspirasi masyarakat. Partisipasi masyarakat sipil—akademisi, organisasi
masyarakat, hingga media—perlu dilibatkan secara sistematis agar reformasi
Polri tidak berhenti sebagai agenda di atas kertas.
Belajar dari negara lain, kita bisa menengok
reformasi kepolisian di Korea Selatan atau Jepang, yang menekankan pada
akuntabilitas publik dan profesionalisasi internal. Kedua negara itu berhasil
membangun model reformasi yang terukur karena menempatkan masyarakat sebagai
mitra, bukan sekadar penonton. Polri dapat mengambil pelajaran serupa: tim
internal harus fokus memperbaiki kultur dan struktur, sementara tim eksternal
menjadi jembatan dengan masyarakat. Hanya dengan cara itu reformasi Polri bisa
keluar dari jebakan prismatik dan bergerak menuju organisasi yang modern dan
terpercaya.
Antara
Harapan dan Kenyataan
Reformasi Polri bukanlah sekadar proyek teknokratis,
melainkan sebuah proses politik, sosial, dan kelembagaan yang sarat simbol
serta penuh tarik-menarik kepentingan. Kehadiran dua tim reformasi—satu
dibentuk Presiden melalui penunjukan Komjen (Purn) Dofiri, dan satu lagi
dibentuk Kapolri dengan 52 jenderal aktif—telah menegaskan betapa kompleksnya
upaya perubahan di tubuh kepolisian. Dari sudut kebijakan publik, dualisme ini
bisa dibaca sebagai upaya merespons tekanan masyarakat dengan desain kebijakan
strategis sekaligus menyiapkan instrumen teknis di level operasional. Namun,
dari sisi komunikasi politik, kehadiran dua tim justru menciptakan kesan
tumpang tindih yang menimbulkan keraguan publik.
Publik pada akhirnya tidak hanya menilai kinerja,
melainkan juga menangkap sinyal dari simbol-simbol yang ditampilkan. Dua tim
yang seharusnya menjadi tanda keseriusan bisa dengan cepat dibaca sebagai
manuver birokratis, atau bahkan persaingan otoritas. Persepsi ini semakin kuat
karena Polri sedang berada dalam sorotan tajam pasca berbagai kasus besar yang
mencoreng kepercayaan masyarakat. Jika komunikasi politik tidak dibenahi,
reformasi yang semula diharapkan sebagai momentum perubahan justru berisiko
kehilangan legitimasi sejak awal.
Teori pengembangan organisasi mengingatkan bahwa
perubahan selalu menghadapi resistensi, baik dalam bentuk halus maupun
terang-terangan. Resistensi itulah yang tampak ketika Polri membentuk tim
internalnya sendiri, seolah ingin memastikan bahwa kendali reformasi tetap
berada di tangan internal lembaga. Fenomena ini bukanlah sesuatu yang unik di
Indonesia, melainkan bagian dari dinamika organisasi besar yang terbiasa dengan
kultur hierarkis. Namun, jika resistensi ini tidak dikelola dengan keterbukaan,
ia bisa berubah menjadi penghambat reformasi, bukannya jaminan kelancaran.
Perspektif prismatik F.W. Riggs memberi kita
gambaran yang lebih jernih. Polri, seperti banyak institusi lain di negara
berkembang, berada di persimpangan antara nilai tradisional dan modern. Dua tim
reformasi adalah cerminan dari kondisi prismatik itu: satu masalah direspons
dengan banyak solusi, fungsi politik bercampur dengan fungsi administratif, dan
batas antara otoritas eksternal dan internal menjadi kabur. Situasi ini bisa
menjadi peluang jika dikelola dengan sinergi, tetapi juga bisa menjadi jebakan
bila dibiarkan tanpa arah yang jelas.
Karena itu, arah ke depan seharusnya menempatkan
dua tim ini bukan sebagai entitas yang saling menegasikan, melainkan sebagai
mekanisme kerja yang saling melengkapi. Tim Dofiri perlu diberi ruang untuk
menyusun diagnosis strategis yang independen, sementara tim Kapolri menyiapkan
basis data, pemetaan masalah, dan rencana aksi internal. Transparansi,
akuntabilitas, serta partisipasi masyarakat sipil harus dijadikan fondasi agar
publik percaya bahwa reformasi ini bukan sekadar formalitas.
Akhirnya, pertanyaan reflektif yang perlu dijawab
adalah: apakah reformasi Polri kali ini benar-benar momentum perubahan, atau
sekadar manuver politik jangka pendek? Jawaban dari pertanyaan ini tidak
semata-mata bergantung pada siapa yang memimpin tim, melainkan pada kesungguhan
Polri dan pemerintah untuk menjadikan reformasi sebagai proses berkelanjutan.
Harapan masyarakat jelas: Polri harus berubah menjadi institusi yang bersih,
profesional, dan dapat dipercaya. Kini tinggal menunggu, apakah harapan itu
akan diwujudkan, atau sekali lagi hanya menjadi janji yang hilang ditelan
riuhnya politik dan birokrasi.
Komentar
Posting Komentar