Krisis Makna Bela Negara

 KRISIS MAKNA BELA NEGARA


Oleh KD Andaru Nugroho 

15 Agt 2025 11:00 WIB 

· Artikel Opini KOMPAS

Delapan dekade setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, Indonesia masih saja berdiri di persimpangan antara harapan dan kenyataan. Bung Karno pernah menyebut kemerdekaan sebagai jembatan emas menuju keadilan dan kemakmuran. Namun, seperti jembatan yang dibangun tergesa dan diabaikan pemeliharaannya, perjalanan menuju cita-cita kemerdekaan kini terasa goyah, licin, bahkan sesekali terasa membingungkan.

Kekayaan sumber daya alam yang melimpah belum otomatis menjadi jaminan kesejahteraan. Layanan publik yang seharusnya menjadi cermin keberpihakan negara justru kerap menjadi panggung frustrasi rakyat. Korupsi, ketimpangan, dan pelayanan negara yang tambal sulam telah memudarkan makna ”kehadiran negara” bagi banyak warga.

Yang lebih mengkhawatirkan, negara tetap menuntut rakyat untuk ”membela”, tanpa pernah serius bertanya apakah negara ini masih layak dibela dengan sepenuh jiwa dan raga. Di tengah krisis kepercayaan yang kian dalam, konsep bela negara seperti bayang-bayang masa lalu yang tidak pernah sepenuhnya dimodernisasi. Ia masih dipahami sebagai instruksi dari atas, bukan sebagai hasil interaksi timbal balik yang adil antara negara dan warganya.

Bela negara seharusnya tidak lagi dimaknai secara sempit sebagai kesiapan fisik menghadapi ancaman militer. Di era ketika informasi lebih cepat dari peluru dan disinformasi bisa menghancurkan kepercayaan publik lebih dahsyat dari senjata, bela negara adalah soal tanggung jawab—dan tanggung jawab harus dimulai dari negara itu sendiri. Jika negara tidak mampu memberi rasa adil, wajar jika warganya tak merasa wajib membela. Dalam logika sederhana warga, untuk apa membela sesuatu yang tidak membela balik?

Oleh karena itu, refleksi kemerdekaan tahun ini bukan sekadar mengenang perjuangan pada masa lalu, melainkan ajakan untuk menata ulang relasi antara negara dan rakyat. Jika bela negara terus dimaknai satu arah, hanya sebagai kewajiban warga, maka peringatan kemerdekaan hanya akan jadi rutinitas kosong. Justru saat inilah kita perlu membalik arah tanggung jawab. Bela negara harus dimulai dari negara yang membela rakyatnya terlebih dahulu—dengan keadilan, pelayanan, dan keteladanan.


Kompas/Bahana Patria GuptaFragmen pertempuran 10 November 1945 dalam teatrikal drama kolosal Sumpah Merdeka atau Mati saat peringatan Hari Bela Negara di Gedung Grahadi, Surabaya, Jawa Timur, 19 Desember 2023.

Bela negara di tengah krisis kepercayaan

Di tengah gegap gempita seremoni kemerdekaan yang dirayakan setiap 17 Agustus, ada ironi yang makin sulit ditutupi: semangat bela negara yang dikumandangkan pemerintah semakin kehilangan gema di telinga rakyat. Bukannya apatis tanpa alasan, publik kini semakin cerdas membedakan antara simbolisme dan substansi.

Ketika pelayanan publik amburadul—seperti kegagalan layanan imigrasi yang berulang kali lumpuh akibat sistem yang usang, atau polemik sistem pertanahan digital yang membuka peluang mafia tanah—rasa frustrasi masyarakat kian mendalam. Belum lagi skandal korupsi, seperti kasus dugaan suap di lingkungan Ditjen Bea Cukai dan gratifikasi pejabat pajak, yang justru terungkap dari gaya hidup mewah di media sosial.

Ketika wajah birokrasi makin kusam oleh kerak busuk semacam itu, bagaimana rakyat bisa percaya bahwa negara layak dibela? Fenomena maraknya pengibaran bendera One Piece semakin menguatkan ketidakpuasan publik.

Dalam konteks teori relasi sosial-politik modern, negara tidak lagi dapat berdiri sebagai entitas dominan yang memerintah secara satu arah kepada warganya. Pemikiran Jurgen Habermas tentang deliberative democracy menggarisbawahi pentingnya komunikasi timbal balik antara negara dan masyarakat dalam membangun legitimasi. Habermas berpendapat bahwa demokrasi yang ideal mensyaratkan adanya dialog yang intensif antara pemerintah dan warga negara, bukan hanya sekadar proses pemungutan suara.

Negara yang gagal mendengarkan warganya, atau yang justru memanipulasi ruang publik dengan janji semu, akan kehilangan otoritas moral. Anthony Giddens juga mengingatkan bahwa dalam masyarakat modern yang refleksif, relasi negara-warga negara bersifat interdependen: negara harus melayani dengan transparansi, sementara warga negara memiliki hak untuk menuntut dan mengawasi.

Bela negara sejatinya adalah kontrak sosial antara negara dan warganya—bukan sekadar slogan atau proyek pelatihan. Namun, kini, makna itu direduksi menjadi kegiatan seremonial, lokakarya tanpa dampak, atau konten medsos yang justru menjadi obyek sinisme. Terlebih lagi, ketika sebagian pejabat yang menggembar-gemborkan bela negara justru terlibat dalam praktik yang bertentangan dengan nilai-nilai kebangsaan, maka narasi itu berubah menjadi bumerang.

Krisis kepercayaan terhadap institusi publik adalah ancaman nyata terhadap ketahanan nasional, bahkan lebih berbahaya dari invasi militer. Ketika persepsi terhadap pelayanan publik nasional turun drastis oleh serangkaian skandal atau kebijakan yang tidak berpihak, rakyat bisa mempertanyakan buat siapa negara ini ada?

Ketika masyarakat merasa negara hadir hanya untuk segelintir elite, mereka tak lagi melihat urgensi untuk membela struktur yang abai terhadap kepentingan mereka. Ini bukan soal kurangnya nasionalisme, melainkan sinyal peringatan bahwa bangsa ini sedang kehabisan energi sosial karena disuguhi kebijakan yang tidak berpihak, layanan yang diskriminatif, dan hukum yang inkonsisten.

Bagaimana tidak, tanpa sosialisasi yang memadai, tiba-tiba ada pejabat negara menyampaikan negara dapat mengambil alih tanah rakyat, khususnya tanah yang telantar, yang tidak diusahakan, tidak dimanfaatkan, atau tidak dipelihara selama dua tahun berturut-turut sejak diterbitkannya hak.

Dalam suasana seperti ini, ajakan untuk ”bela negara” terasa seperti perintah sepihak. Padahal, bela negara yang sehat harus timbul dari keyakinan, bukan kewajiban kosong. Rakyat harus merasakan bahwa negaranya layak dibela karena mampu menunjukkan keberpihakan yang nyata, bukan sekadar imbauan patriotisme yang hampa. Kepercayaan publik tidak dapat dibangun lewat instruksi, tapi melalui tindakan nyata—yang konsisten, adil, dan terbuka.

Karena itu, sebelum meminta rakyat untuk kembali meneguhkan semangat bela negara, negara harus lebih dahulu memperbaiki wajahnya. Keteladanan pemimpin, keberanian melawan korupsi, transparansi pengelolaan sumber daya, dan pelayanan publik yang bermartabat adalah bentuk bela negara dari negara itu sendiri. Di tengah krisis kepercayaan yang makin akut, inilah satu-satunya jalan agar semangat kebangsaan kembali mendapat tempat di hati rakyat.


Negara membela rakyat

Jika bela negara adalah kewajiban warga terhadap negara, sisi lainnya yang sering dilupakan adalah negara juga wajib membela rakyatnya. Hubungan ini bukan satu arah. Sebuah bangsa yang sehat dibangun bukan di atas tuntutan terhadap rakyat semata, melainkan pada keberanian negara memenuhi janjinya: memberikan keadilan, keamanan, dan kesejahteraan bagi seluruh warga. Ironisnya, dalam banyak kasus, negara justru menjadi entitas yang absen ketika rakyat menghadapi persoalan mendasar.

Lihat saja kasus terbaru soal kelangkaan dan mahalnya harga beras pada awal 2025. Di tengah jargon kedaulatan pangan, negara justru bergantung pada impor dan distribusi yang dikuasai kartel. Akibatnya, masyarakat kelas bawah harus membeli beras dengan harga di atas Rp 15.000/kg, sementara bantuan pangan justru terlambat dan tak merata. Negara yang seharusnya melindungi malah membiarkan rakyatnya ”berperang sendiri” melawan spekulan dan permainan pasar.

Di sektor kesehatan, sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pun masih menyisakan banyak keluhan: antrean layanan yang panjang, rujukan yang berbelit, hingga rumah sakit yang menolak pasien dengan alasan kuota penuh. Jika ini yang disebut negara membela rakyat, maka pelindungan itu terasa semu.

Kondisi negara hadir dalam secara nyata dalam kehidupan warga negara menjadi penting. Permasalahan warga negara adalah permasalahan negara yang harus dikelola pemerintah. Kalau kebijakan yang dikeluarkan pemerintah justru tidak menyentuh permasalahan-permasalahan warga negaranya, hal itu akan memunculkan anggapan pemerintah ”tidak memahami kebutuhan rakyat kecil”. Ketimpangan antara janji dan kenyataan membuat konsep negara sebagai pelindung menjadi lelucon tragis di ruang-ruang diskusi publik.

Karena itu, upaya membangun semangat bela negara sejatinya harus dimulai dari negara itu sendiri. Negara perlu menjadi contoh dalam membela rakyatnya—bukan sekadar lewat pidato dan baliho, melainkan melalui kebijakan yang berpihak, distribusi sumber daya yang adil, dan layanan publik yang merata. Di sinilah Peraturan Presiden Nomor 115 Tahun 2022 seharusnya menjadi instrumen koreksi: bahwa sistem pembinaan bela negara perlu ditata ulang, tidak hanya dari sisi output kegiatan, tapi juga dari komitmen negara untuk menjadikan rakyat sebagai subyek utama, bukan sekadar obyek kampanye nasionalisme.

Dalam dunia yang semakin terbuka dan digital, rakyat kini bisa membandingkan kualitas negaranya dengan negara lain dalam sekejap mata. Ketika warga melihat bahwa di negara tetangga, layanan publik tersedia 24 jam dengan integritas tinggi, sedangkan di sini antrean administrasi masih harus diakali dengan ”amplop”, rasa nasionalisme tidak hanya pudar—ia berubah menjadi sinisme. Jika negara gagal membela rakyatnya, rakyat pun lambat laun akan berhenti merasa perlu membela negara itu.

Perpres 115/2022, cermin yang retak

Peraturan Presiden Nomor 115 Tahun 2022 sejatinya dirancang sebagai tonggak baru dalam pembinaan kesadaran bela negara. Ia memberi mandat untuk merapikan konsep, struktur, dan arah pembinaan bela negara lintas kementerian, lembaga, hingga pemerintah daerah. Namun, dalam praktiknya, implementasi perpres ini justru menghadapi tantangan berat—bukan semata-mata dari sisi teknis, melainkan juga dari kredibilitas negara itu sendiri.

Sebagai contoh, pada awal 2024, program sosialisasi bela negara yang digelar di beberapa provinsi hanya diisi dengan seminar monoton, seremonial berbiaya besar, tanpa ada upaya menjawab keresahan publik. Di satu sisi, negara mengajak rakyat ”membela tanah air”, tapi di sisi lain, berita tentang pejabat publik yang tertangkap KPK, skandal dana bansos yang dikorupsi, hingga jaksa dan aparat penegak hukum yang terlibat mafia kasus terus muncul nyaris tanpa jeda. Bagaimana mungkin rakyat diminta mencintai negara yang membiarkan pengelolanya mempermainkan keadilan?

Kegagalan implementasi Perpres 115/2022 juga terletak pada pendekatannya yang masih bersifat satu arah dan normatif. Alih-alih melakukan transformasi konseptual, banyak instansi hanya mengganti nama program lama menjadi ”bela negara” demi menyesuaikan nomenklatur, tanpa substansi yang berubah.

Bahkan, dalam beberapa kegiatan, peserta yang dilibatkan adalah aparatur sipil negara (ASN) atau pelajar secara acak, tanpa pemetaan kebutuhan, tanpa target perubahan sikap, dan nihil tolok ukur keberhasilan. Perpres ini—yang seharusnya menjadi alat refleksi strategis—malah jadi kosmetik birokrasi. Jangan-jangan justru yang terjadi dengan fenomena-fenomena yang ada mengasosiasikan program bela negara dengan kegiatan formalitas belaka—terputus dari realitas sehari-hari.

Dengan kata lain, Perpres 115/2022 telah menjadi semacam ”cermin yang retak”. Ia dimaksudkan untuk memantulkan wajah ideal bela negara, tetapi malah memperlihatkan wajah kusam negara yang kehilangan empati dan arah. Jika retak ini tidak segera diperbaiki dengan pembaruan menyeluruh, bukan tidak mungkin semangat bela negara akan retak pula—bukan karena rakyat tidak cinta, melainkan karena rasa cinta itu terus dikhianati.

Dari partisipasi semu ke tanggung jawab simetris

Bela negara sejatinya bukanlah ajakan satu arah. Ia adalah relasi timbal balik antara negara dan warga negaranya—sebuah kontrak sosial yang menuntut komitmen dari kedua belah pihak. Namun, hingga kini, paradigma yang dominan dalam program bela negara masih menempatkan rakyat sebagai obyek yang diminta berpartisipasi, bukan sebagai subyek yang didengarkan, dilibatkan, dan dihargai.

Realitas ini tampak jelas dalam model pelibatan masyarakat yang bersifat prosedural dan simbolik. Pemerintah gencar menyosialisasikan pentingnya cinta tanah air, menjaga ideologi, dan ikut serta dalam ketahanan nasional, tetapi abai dalam memperbaiki kualitas layanan publik yang menjadi tolok ukur kehadiran negara. Ketika masyarakat diminta rela berkorban demi negara, tetapi harus menghadapi birokrasi yang lamban, fasilitas kesehatan yang timpang, pendidikan yang mahal, dan aparat yang justru menindas, partisipasi itu tidak lebih dari partisipasi semu.

Tanggung jawab bela negara tidak bisa hanya disematkan pada rakyat. Negara harus lebih dulu memberi teladan—menjalankan tata kelola yang bersih, adil, dan berpihak pada kepentingan publik. Dalam kerangka ini, konsep tanggung jawab simetris menjadi kunci: negara harus memperlihatkan komitmennya secara nyata sebelum mengajak warga negara berkomitmen.

Contoh relevan muncul dari laporan Ombudsman RI tahun 2023 yang dilaporkan pada Maret 2024, yang menunjukkan bahwa lebih dari 40,38% pengaduan masyarakat mengenai malaadministrasi di sektor pelayanan dasar—termasuk bentuk seperti tidak memberikan pelayanan, penundaan berlarut, dan penyimpangan prosedur. Artinya, di mata publik, negara belum menunaikan peran dasarnya. Sementara itu, aparat penegak hukum yang seharusnya menjadi penjaga keadilan justru banyak yang terseret kasus pelanggaran etik, pemerasan, bahkan menjadi bagian dari sindikat kejahatan. Rakyat menyaksikan, mencatat, dan merasakan itu semua. Maka, ketika pemerintah menggelar pelatihan bela negara, respons publik sering kali apatis: ”Bela negara yang mana?”

Menghadirkan tanggung jawab simetris artinya membalik arah pemikiran: bela negara bukan sekadar loyalitas warga kepada negara, melainkan cerminan dari kualitas layanan negara kepada warganya. Dengan demikian, bela negara bukanlah instruksi, melainkan konsekuensi. Di sinilah kita menemukan pangkal masalah dan sekaligus peluang pembaruan: saat negara mulai membela rakyatnya secara utuh, niscaya rakyat akan membela negaranya tanpa diminta.

Menuju paradigma baru bela negara

Setelah delapan dekade kemerdekaan, narasi bela negara tidak bisa lagi hanya bersandar pada retorika perjuangan fisik dan loyalitas simbolis. Di tengah gempuran dinamika global—mulai dari ancaman disinformasi, tekanan geopolitik kawasan Indo-Pasifik, eskalasi perang teknologi dan siber, krisis iklim, hingga perang terbuka antara blok ekonomi besar—Indonesia tidak cukup hanya mempertahankan nasionalisme konvensional. Kita butuh paradigma bela negara yang lebih tajam, reflektif, dan responsif terhadap tantangan zaman.

Di dalam negeri, ironi pelayanan publik yang amburadul dan praktik korupsi yang semakin vulgar memperlihatkan jurang antara idealisme konstitusi dan realitas birokrasi. Misalnya, kasus korupsi pengadaan alat pelindung diri saat pandemi, atau skandal pelayanan imigrasi dan agraria yang sarat pungli, adalah bukti bahwa pengkhianatan terhadap negara bukan dilakukan oleh rakyat biasa, melainkan oleh oknum elite birokrasi itu sendiri. Maka, bagaimana mungkin bela negara tetap dimaknai sebagai beban rakyat semata ketika justru negara gagal menjadi pelayan yang bisa dipercaya?

Dalam konteks inilah paradigma baru bela negara perlu dibangun sebagai relasi timbal balik antara negara dan rakyat. Artinya, warga negara tidak lagi sekadar obyek yang diminta berkorban, tetapi subyek aktif yang berhak mendapatkan pelindungan, keadilan, dan pelayanan setara dari negaranya. Jika negara hadir secara adil dan akuntabel, cinta terhadapnya tumbuh bukan karena dipaksa, melainkan karena dirasakan.

Laporan Edelman Trust Barometer 2024 yang merupakan survei global tahunan yang mengukur kepercayaan publik terhadap tiga jenis institusi—pemerintah, perusahaan, dan media—menunjukkan kepercayaan global terhadap pemerintah dan media mengalami penurunan. Hanya 50% responden di seluruh dunia yang menyatakan percaya bahwa pemerintah akan melakukan hal yang benar.

Jika Indonesia termasuk dalam laporan tersebut, ini mengindikasikan kegamangan sosial yang serius: rakyat mulai mencari saluran alternatif untuk berekspresi, bahkan untuk mengkritik negara. Dalam ruang semacam ini, bela negara bukan lagi soal baris-berbaris atau doktrin searah, melainkan penguatan literasi publik, etika digital, kewaspadaan kolektif, dan kesediaan untuk turut membenahi institusi.

Gerakan bela negara yang bersifat sosial-organik—seperti kampanye advokasi layanan publik, komunitas antikorupsi, inisiatif penanggulangan bencana berbasis warga—menjadi penanda munculnya bentuk baru nasionalisme. Ini bukan nasionalisme retoris, melainkan nasionalisme praksis yang berpijak pada nilai, etika, dan tanggung jawab bersama. Inilah model bela negara masa depan: bukan instruksi vertikal, melainkan kesadaran horizontal yang dibangun karena negara benar-benar berpihak.

Di tengah tantangan global yang semakin mengaburkan batas antara perang fisik dan perang informasi, antara ekonomi dan dominasi politik, bela negara bukan lagi opsi, melainkan keniscayaan. Namun, itu hanya mungkin jika negara juga berbenah. Momen peringatan kemerdekaan 17 Agustus 2025 seharusnya menjadi pengingat bahwa membela negara dimulai dari negara yang patut dibela.



Menuju paradigma baru bela negara

Delapan puluh tahun merdeka, Indonesia telah membuktikan daya tahannya sebagai bangsa yang besar. Namun, di balik capaian pembangunan dan stabilitas politik, muncul tantangan baru yang tak kalah genting—melemahnya kepercayaan publik, memburuknya mutu pelayanan publik, dan membengkaknya kasus korupsi yang kian vulgar. Ketika negara gagal memberikan pelayanan yang adil dan bermartabat, rasa cinta warga kepada negaranya ikut tergerus. Di titik inilah, bela negara harus didefinisikan ulang.

Bela negara bukan lagi semata slogan atau kegiatan formal, melainkan cerminan hubungan timbal balik antara negara dan rakyat. Ia tak bisa hanya dituntut dari masyarakat tanpa negara menunjukkan integritas dan keadilan. Ketika aparatur negara bekerja dengan hati, melayani tanpa pamrih, dan menjunjung akuntabilitas, maka semangat bela negara tumbuh secara alamiah. Ketika guru di pelosok mengabdi tanpa keluh, ketika tenaga kesehatan bekerja melampaui waktu demi masyarakat, ketika pejabat publik menolak gratifikasi, itulah wujud bela negara yang hakiki dan membumi.

Paradigma baru bela negara menuntut pergeseran cara pandang: dari narasi koersif ke partisipatif, dari jargon menjadi keteladanan. Meskipun survei Litbang Kompas (Mei 2025) mencatat bahwa survei kepuasan terhadap pemerintahan Presiden Prabowo–Gibran pada periode 100 hari pertamanya, yang menunjukkan tingkat kepuasan mencapai 80,9 persen, ini bukanlah untuk jemawa, tetapi sisa 19,1 persen harus menjadi peringatan untuk membenahi sistem dan perilaku. Negara yang mampu membangun kepercayaan rakyatnya akan lebih mudah menggalang partisipasi dalam menjaga kedaulatan dan ketahanan nasional.

Dalam konteks global, tantangan yang kita hadapi tidak hanya dalam bentuk senjata, tapi juga siber, opini publik, dan tekanan ekonomi-politik internasional. Maka, bela negara pada masa kini tak bisa dilepaskan dari kecakapan digital, kemandirian ekonomi, ketahanan pangan, dan etika pelayanan. Setiap warga bangsa memiliki peran: mulai dari menjaga ekosistem digital yang sehat, menolak hoaks, hingga memajukan UMKM dan riset teknologi. Di sisi lain, aparatur negara dituntut tampil sebagai pengayom, bukan sekadar penguasa, yang menunjukkan negara hadir secara nyata dan bermartabat.

KD Andaru Nugroho, Pemerhati Kesadaran Bela Negara, Pensiunan TNI


Edy Suhardono

Pak Andaru, salut atas analisis Anda mengenai krisis kepercayaan terhadap konsep bela negara yang disebabkan oleh kegagalan negara dalam memenuhi tanggung jawabnya. Gagasan Anda untuk mengubah paradigma bela negara menjadi sebuah tanggung jawab simetris, di mana negara harus terlebih dahulu membela rakyatnya, merupakan inti persoalan yang sangat relevan saat ini.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERMASALAHAN PEMBENTUKAN KOMCAD

STRATEGI PERTAHANAN NIRMILITER MEMBANGUN DAN MEMBINA KEMAMPUAN DAYA TANGKAL NEGARA DAN BANGSA MENGHADAPI ANCAMAN NONMILITER

ASPEK POLITIK DAN KEPENTINGAN NASIONAL DALAM PENYUSUNAN STRATEGI PERTAHANAN