IRONi AGUSTUS: ANTARA PERAYAAN KEMERDEKAAN, LUKA SOSIAL, DAN PENGABAIAN TUJUAN BERBEGARA

 Ironi Agustus: Antara Perayaan Kemerdekaan, Luka Sosial, dan Pengabaian Tujuan Bernegara

Oleh: K.D. Andaru Nugroho*


Agustusan, Sebuah Momentum

Bulan Agustus selalu menjadi bulan yang sarat makna bagi bangsa Indonesia. Setiap tahunnya, rakyat menyambut Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan dengan semarak. Bendera merah putih berkibar di tiap sudut negeri, anak-anak hingga orang tua mengikuti lomba kampung, dan suasana penuh kebersamaan seolah menjadi tanda syukur atas nikmat merdeka. Tidak hanya itu, di bulan ini juga diperingati hari-hari penting seperti HUT DPR RI (29 Agustus), Hari Veteran Nasional (10 Agustus), HUT Komnas HAM (23 Agustus), dan Hari Pramuka (14 Agustus).

Namun, di balik gegap gempita tersebut, ada ironi yang mengusik. Pada saat yang sama, di sejumlah daerah pecah demonstrasi rakyat yang berujung ricuh dan menelan 10 korban jiwa. Sementara pejabat negara sibuk dengan seremoni, rakyat kecil justru berhadapan dengan aparat karena menuntut hak dasarnya. Fenomena ini mengingatkan kita bahwa tujuan bernegara yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 belum sepenuhnya tercapai.

Pertanyaannya bukan lagi sebatas apakah rakyat melakukan bela negara atau tidak, melainkan: sejauh mana negara sungguh-sungguh menjalankan amanat konstitusi—melindungi segenap bangsa, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia?


Melindungi Segenap Bangsa dan Seluruh Tumpah Darah Indonesia

Tujuan pertama bernegara adalah melindungi rakyatnya, baik dari ancaman luar maupun dari ketidakadilan di dalam negeri. Perlindungan di sini bukan hanya soal menjaga keamanan fisik, tetapi juga memastikan setiap warga memiliki akses pada hak dasar: pangan, pekerjaan, kesehatan, dan kebebasan berpendapat.

Ironinya, di tengah momentum kemerdekaan, rakyat yang turun ke jalan justru kehilangan nyawa. Demonstrasi yang seharusnya menjadi sarana demokrasi berubah menjadi tragedi. Negara yang diharapkan hadir sebagai pengayom, malah tampil sebagai pihak yang melukai rakyatnya sendiri.

Fenomena di parlemen mempertebal ironi itu. Saat publik dirundung keresahan, ada anggota DPR yang berjoget dalam sidang. Aksi tersebut memicu kritik luas: di mana empati wakil rakyat terhadap penderitaan konstituennya? Bukankah DPR seharusnya menjadi corong aspirasi, bukan panggung hiburan?

Ketika perlindungan yang seharusnya datang dari institusi negara justru tak terasa, rakyat kian kehilangan kepercayaan. “Melindungi segenap bangsa” berisiko tinggal menjadi jargon kosong jika realitas terus berjalan seperti ini.


Memajukan Kesejahteraan Umum

Janji kemerdekaan adalah menghadirkan kesejahteraan umum. Namun, tujuh puluh delapan tahun setelah proklamasi, jurang kesenjangan masih lebar. Pertumbuhan ekonomi memang ada, tetapi distribusinya tidak merata. Sebagian rakyat masih harus berjuang keras sekadar memenuhi kebutuhan sehari-hari, sementara elite politik sibuk membicarakan kekuasaan.

Gelombang demonstrasi yang pecah bukan tanpa sebab. Mereka lahir dari keresahan rakyat atas harga kebutuhan yang tinggi, lapangan kerja yang sempit, dan kebijakan yang dianggap lebih menguntungkan kelompok tertentu. Bahkan, sejumlah pernyataan kontroversial dari anggota DPR kerap menyinggung perasaan publik, seolah mengabaikan kenyataan pahit yang dihadapi rakyat.

Fenomena ini menimbulkan ingatan kolektif pada era Orde Baru, ketika adu kekuatan antara negara dan rakyat berlangsung secara frontal. Bedanya, kini kita hidup di era reformasi, tetapi wajah represi masih bisa muncul dengan pakaian baru. Kesejahteraan umum, yang seharusnya menjadi prioritas, terpinggirkan oleh kepentingan politik dan kekuasaan.


Mencerdaskan Kehidupan Bangsa

Tujuan lain yang tak kalah penting adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan adalah hak dasar yang seharusnya dijamin negara, baik dari segi akses, kualitas, maupun pemerataan. Sayangnya, banyak anak bangsa masih menghadapi hambatan untuk mendapatkan pendidikan yang layak.

Ironinya, di tengah peringatan Hari Pramuka yang mengajarkan disiplin dan cinta tanah air, generasi muda justru menyaksikan keteladanan buruk dari elite politik. Ketika sidang penting berubah menjadi ajang berjoget, ketika pernyataan wakil rakyat cenderung meremehkan jeritan masyarakat, maka pendidikan politik bangsa justru mengalami kemunduran.

Mencerdaskan kehidupan bangsa bukan hanya soal akademik. Ia juga mencakup pendidikan moral, etika politik, dan kesadaran kebangsaan. Rakyat berhak mendapat pencerahan dari para pemimpinnya, bukan tontonan yang merendahkan martabat lembaga negara. Jika elite gagal memberi teladan, bagaimana generasi muda bisa tumbuh dengan sikap kenegarawanan?


Ikut Melaksanakan Ketertiban Dunia

Indonesia dikenal sebagai negara yang aktif dalam diplomasi internasional, mendorong perdamaian, dan menjadi juru damai di berbagai konflik global. Kini, Indonesia bahkan masuk ke dalam aliansi ekonomi-politik BRICS (Brasil, Rusia, India, Tiongkok, Afrika Selatan, dan kini diperluas dengan negara lain). Keanggotaan ini menimbulkan optimisme sekaligus kekhawatiran.

Optimisme datang dari peluang ekonomi yang lebih besar dan posisi tawar Indonesia yang meningkat di kancah global. Namun, di balik itu, ada anasir asing yang tentu bermain. Setiap langkah geopolitik membawa konsekuensi: tekanan, pengaruh, bahkan risiko campur tangan dalam kebijakan domestik.

Refleksi penting: bagaimana mungkin Indonesia berbicara lantang soal ketertiban dunia jika ketertiban di dalam negeri sendiri masih sering terganggu? Demonstrasi berdarah, konflik aparat-rakyat, dan kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat kecil menjadi kontradiksi nyata dengan citra Indonesia sebagai negara cinta damai di mata dunia.


Ironi Agustus: Antara Simbol dan Realitas

Bulan Agustus sarat simbol: bendera berkibar, pidato kenegaraan, pakaian adat dalam upacara. Semua itu seolah ingin menunjukkan bahwa bangsa ini kuat, berdaulat, dan bersatu. Namun, di balik simbolisme itu, kenyataan yang dirasakan rakyat sering kali jauh berbeda.

Kekuatan politik di dalam negeri juga semakin terkonsentrasi. Kekuatan Presiden Jokowi yang mampu membangun basis kekuasaan hingga ke parlemen, dan manuver penguasa saat ini yang kerap dianggap sebagai pengulangan pola konsolidasi ala Orde Baru, membuat ruang kritik semakin sempit. Demokrasi yang mestinya hidup, justru dikhawatirkan berbalik arah menuju dominasi segelintir elite.

Agustus, yang seharusnya menjadi bulan kebanggaan, justru menghadirkan potret ironi: rakyat berduka di jalanan, elite berkuasa di panggung politik. Simbol-simbol kebangsaan pun terasa hambar jika tidak disertai realisasi nyata tujuan bernegara.


Pelajaran dan Harapan ke Depan

Tragedi demonstrasi berdarah dan perilaku elite politik yang jauh dari teladan memberi kita pelajaran penting. Pertama, negara perlu kembali pada ruh konstitusi: melindungi, menyejahterakan, mencerdaskan, dan menjaga perdamaian. Tanpa itu, kepercayaan rakyat akan terus menipis.

Kedua, DPR harus mengembalikan marwahnya. Sidang bukanlah panggung tari atau ajang hiburan, melainkan forum luhur untuk memperjuangkan nasib rakyat. Anggota DPR yang mengabaikan keseriusan lembaga justru merusak demokrasi dari dalam.

Ketiga, pemerintah perlu menjaga keseimbangan antara kekuatan domestik dan pengaruh asing. Masuknya Indonesia ke BRICS memang strategis, tetapi jangan sampai kedaulatan bangsa tergadaikan.

Akhirnya, momentum perayaan di bulan Agustus harus dijadikan ajang refleksi kolektif. Bukan sekadar pesta, melainkan evaluasi sejauh mana tujuan bernegara sudah diwujudkan.


Agustusan, Momentum Merdeka 

Agustus selalu mengingatkan kita pada perjuangan para pendiri bangsa. Namun, perayaan tanpa refleksi berisiko melahirkan kemerdekaan semu. Jika rakyat masih kehilangan nyawa demi memperjuangkan hak, jika elite politik lebih sibuk berjoget ketimbang bekerja, maka cita-cita kemerdekaan masih tertunda.

Tujuan bernegara sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 harus menjadi kompas: melindungi segenap bangsa, memajukan kesejahteraan, mencerdaskan kehidupan, dan ikut menjaga ketertiban dunia. Tanpa itu, Agustus hanya akan menjadi bulan penuh simbol tanpa substansi.

Kini saatnya bertanya: apakah kita hanya ingin merayakan kemerdekaan dengan bendera dan upacara, atau sungguh-sungguh mewujudkan kemerdekaan dengan kesejahteraan, kecerdasan, dan keadilan?


Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERMASALAHAN PEMBENTUKAN KOMCAD

STRATEGI PERTAHANAN NIRMILITER MEMBANGUN DAN MEMBINA KEMAMPUAN DAYA TANGKAL NEGARA DAN BANGSA MENGHADAPI ANCAMAN NONMILITER

ASPEK POLITIK DAN KEPENTINGAN NASIONAL DALAM PENYUSUNAN STRATEGI PERTAHANAN