RUU Keamanan Nasional, Proporsionalitas Kewenangan bukan TNI Come Back
Salah satu
keprihatinan yang menjadi alasan penolakan RUU Keamanan Nasional pada umumnya
adalah bangkitkembalinya TNI dalam area kekuasaan. Keprihatinan itu nampaknya
mengandung ambivanlesi, karena ada fakta kegembiraan dalam diam ketika TNI
membantu penanggulangan kerusuhan di Lampung dan menanggulangi teror di Poso
beberapa minggu yang lalu.
Dalam dua kasus
tersebut tidak ada sama sekali isyarat yang bisa membenarkan keprihatinan di
atas. Masyarakat sudah sangat sadar bagaimana kebutuhan aktor keamanan yang
mampu mengatasi situasi. Tidak berarti dalam dua hot spot itu Polri tidak dapat mengatasi situasi, tetapi memang
ancamannya nyata dan diperlukan kesatupaduan untuk dapat mengatasinya.
Kompetensi dan
proporsional, itulah sesungguhnya kata kunci dari penataan dan pengaturan
kewenangan aktor keamanan dalam RUU Keamanan Nasional. RUU Keamanan Nasional
mengatur kewenangan seluruh unsur dan komponen kekuatan bangsa disesuaikan
dengan tingkat situasinya, apakah pada situasi tertib sipil, darurat sipil,
darurat militer dan perang. Jadi sebuah falseto
kalau kemudian dikatakan dengan RUU Keamanan Nasional TNI kembali berkuasa,
karena pada tingkat-tingkat keadaan tertentu aktor keamanan ditempatkan sesuai
dengan kompetensi dan proporsionalitas kewenangan yang dimiliki.
Penolakan yang dilandasi kekhawatiran kembalinya peran TNI seperti
di masa Orde Baru, merupakan penjungkirbalikan penggunaan analogi sejarah dalam mengargumentasikan penolakan terhadap RUU
Kamnas. Fokus analogi sejarah yang hanya ke dalam akan mengabaikan perubahan
lingkungan strategis global tentang munculnya ancaman nonmiliter, sehingga
gagal menangkap perlunya membangun sistem keamanan nasional yang lebih
komprehensif. Secara spesifik analogi
sejarah tentang “kembalinya peran TNI seperti masa Orde Baru”, terjebak dalam mental blocking yang mencerminkan
kuatnya intervensi psikologi yang mengarah pada zero sum game yang kontra produktif.
Komentar
Posting Komentar