NONMILITARY DEFENCE
(Pertahanan Nonmiliter)


PENDAHULUAN

Ketika terjadi bencana gempa dan Tsunami di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, tergerak seluruh unsur kekuatan bangsa untuk membantu saudara sebangsanya yang sedang mengalami bencana. Demikian juga ketika   kasus Ambalat muncul di tengah-tengah penanganan bencana itu, berbondong-bondong dari berbagai lapisan masyarakat mendaftarkan diri mengekspresikan rasa cinta tanah airnya siap bela negara.

Dua fakta yang diungkapkan itu menunjukkan betapa tinggi kesadaran masyarakat untuk membela negara. Fakta pertama ekspresi kesadaran bela negara itu berada dalam ancaman nonmiliter, sedangkan fakta yang ke dua ekspresi itu berada dalam ancaman militer, tetapi dalam dimensi ekspresi yang ditampilkan keduanya berada dalam satu dimensi, yaitu dimensi keras. Dalam konteks ancaman militer, memang dimensi keras itulah yang harus ditampilkan, tetapi dalam konteks ancaman nonmiliter dimensi ekspresi itu dapat berupa dimensi keras dan lunak. Jika bekerjanya dimensi keras untuk menghadapi ancaman nonmiliter nampak pada fakta pertama, maka bekerjanya dimensi lunak berada dalam dinamika segenap aspek kehidupan bangsa pada etos kerja yang melekat pada profesi warga negara. Wujud lekatan dalam etos kerja itu adalah kesadaran profesionalismenya sebagai bagian dari kekuatan bangsa yang berisi pemahaman wawasan dan jati diri bangsa yang terimplementasi dalam sikap moral kebangsaan yang dilandasi oleh pemahaman tentang politik kebangsaan. Pada dasarnya isi dari wujud lekatan inilah yang bekerja dalam sistem pertahanan negara menjadi nonmilitary defence.


ANCAMAN NONMILITER

Di dalam Undang-Undang Nomor 3/ 2002 tentang Pertahanan Negara disebutkan bahwa ancaman adalah setiap usaha dan kegiatan, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri yang dinilai membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara, dan keselamatan segenap bangsa. Ancaman dimaksud meliputi ancaman militer dan ancaman nonmiliter. Ancaman militer adalah ancaman yang menggunakan kekuatan bersenjata yang terorganisasi yang dinilai mempunyai kemampuan yang membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara, dan keselamatan segenap bangsa.  Sistem pertahanan negara dalam menghadapi ancaman militer (military defence) menempatkan Tentara Nasional Indonesia sebagai komponen utama dengan didukung oleh komponen cadangan dan komponen pendukung.

Sedangkan ancaman nonmiliter secara eksplisit tidak didefinisikan dalam Undang-Undang tersebut. Namun meskipun demikian keberadaan pengaturan tentang ancaman nonmiliter ini ada dan terumuskan dalam Pasal 7 Ayat (3) yang berbunyi: ”Sistem pertahanan negara dalam menghadapi ancaman nonmiliter menempatkan lembaga pemerintah di luar bidang pertahanan sebagai unsur utama, sesuai dengan bentuk dan sifat ancaman yang dihadapi dengan didukung oleh unsur-usur lain dari kekuatan bangsa.”

Dari sentuhan pengaturan Pasal ini menunjukkan bahwa pada dasarnya ancaman nonmiliter berbeda dengan ancaman militer, sehingga sistem pertahanan untuk menghadapinya pun perbeda. Jika sistem pertahanan negara dalam menghadapi ancaman militer menempatkan TNI sebagai unsur utama, maka dalam menghadapi ancaman nonmiliter justru TNI bergabung dengan unsur-unsur lain dari kekuatan bangsa dalam kedudukan sebagai kekuatan pendukung. Sebagai unsur utama dalam sistem pertahanan negara menghadapi ancaman nonmiliter adalah lembaga pemerintah di luar bidang pertahanan. Mengingat luasnya dimensi ancaman nonmiliter, maka yang berkedudukan sebagai unsur utama dalam menghadapinya disesuaikan dengan bentuk dan sifat ancaman.

Sesuai dengan uraian Penjelasan Undang-Undang 3/ 2002, bentuk dan sifat ancaman ini tergantung pada perkembangan lingkungan strategis. Era globalisasi yang ditandai perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi komunikasi, dan informasi sangat mempengaruhi pola dan bentuk ancaman. Ancaman terhadap kedaulatan negara yang semula bersifat konvensional (fisik) dan saat ini berkembang menjadi multidimensional (fisik dan non fisik), baik yang berasal dari luar negeri maupun dari dalam negeri. Ancaman yang bersifat multidimensional tersebut dapat bersumber, baik dari permasalahan ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya maupun persoalan keamanan yan terkait dengan kejahatan internasional, antara lain terorisme, imigran gelap, bahaya narkotika, pencurian kekayaan alam, bajak laut, dan perusakan lingkungan.

Hal ini semua menyebabkan permasalahan pertahanan menjadi sangat kompleks sehingga penyelesaiannya tidak hanya bertumpu pada departemen yang menangani pertahanan saja, melainkan juga menjadi tanggung jawab seluruh instansi terkait, baik instansi pemerintah maupun non pemerintah. Untuk membangun kekuatan pertahanan dalam segenap aspek kehidupan diwujudkan dalam pembangunan kerangka sikap dan moral yang berlandaskan politik kebangsaan yang menjadi jiwa sumber daya manusia yang berada dan mengawaki lembaga pemerintah maupun non pemerintah. Dengan demikian bekerjanya sistem pertahanan negara dalam menghadapi ancaman nonmiliter (nonmilitary defence) berada pada profesionalisme warga negara yang dilandasi sikap moral berdasarkan pemahaman politik kebangsaan.

UNSUR DASAR NONMILITARY DEFENCE

Pertahanan negara diselenggarakan oleh pemerintah dan dipersiapkan secara dini dengan sistem pertahanan negara melalui usaha membangun dan membina kemampuan dan daya tangkal negara dan bangsa serta menanggulangi setiap ancaman. Pertahanan negara bertujuan untuk menjaga dan melindungi kedaulatan negara, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta keselamatan segenap bangsa dari segala bentuk ancaman. Dengan demikian fungsi pertahanan negara adalah untuk mewujudkan dan mempertahankan seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai satu kesatuan pertahanan.

Dihadapkan dengan watak nonmilitary defence, maka unsur dasar yang ditampilkan sebagai hasil dari penyelenggaraan pertahanan pemerintah adalah sikap dan perilaku warga negara yang memiliki kesadaran bela negara. Bela negara adalah tekad, sikap dan  perilaku warga negara Indonesia yang dijiwai oleh kecintaan kepada Negara  Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam menjamin kelangsungan hidup  bangsa dan negara. Guna menumbuhkan kesadaran bela negara, mengingat ia tidak bawaan dari lahir, maka kepribadian atau watak bangsa itu perlu dibangun dan seterusnya dikembangkan. Kesadaran  bela negara mengembangkan nilai kenegaraan yang diperuntukan pada  pembangunan Sistem Pertahanan Negara terurai menjadi lima nilai dasar bela negara, yaitu : 1) cinta tanah air, 2) kesadaran berbangsa dan bernegara, 3) yakin Pancasila sebagai falsafah dan ideologi negara, 4) rela berkorban untuk  bangsa dan negara, 5) serta memiliki kemampuan awal bela negara secara fisik maupun non fisik.

Mengingat luasnya kontektualisasi unsur dasar tersebut, dalam hal nonmilitary defence bela negara memiliki spektrum yang luas. Bela negara menjadi pancaran kemampuan segenap aspek kehidupan yang menjadi daya tangkal, sehingga memberikan efek penangkalan (deterence) kepada berbagai kemungkinan bentuk dan sifat ancaman.

SATUAN DAN BENTUK BANGUN KEKUATAN NONMILITARY DEFENCE

Dalam proses penyiapan menghadapi ancaman militer, pada awalnya sumber daya alam, sumber daya buatan, serta sarana dan prasarana nasional, berada di luar fungsi pertahanan, tetapi untuk kepentingan pertahanan keseluruhan sumber daya nasional itu dapat dimanfaatkan. Dalam menghadapi ancaman nonmiliter hal itu tidak dapat dilakukan. Ancaman nonmiliter berada dalam dinamika pemanfaatan sumber daya dan sarana serta prasarana nasional. Ia tersebar di berbagai fungsi pemerintahan dan bahkan berada dalam dinamika kehidupan bangsa. Untuk itu sistem pertahanan negara dalam menghadapi ancaman nonmiliter menempatkan lembaga pemerintah di luar bidang pertahanan sebagai unsur utama, sesuai bentuk dan sifat ancaman yang dihadapi dengan didukung oleh unsur-unsur lain dari kekuatan bangsa.

Susunan kekuatan dalam menghadapi ancaman nonmiliter ini tidak dalam susunan komponen, karena ancaman nonmiliter tidak terpisah dari dinamika fungsi dan pemerintah dan dinamika kehidupan bangsa. Susunan kekuatan dalam menghadapi ancaman nonmiliter tetap berada dan menjadi unsur dalam pelaksanaan fungsi dan dinamika kehidupan bangsa. Untuk itu unsur utama dalam menghadapi ancaman nonmiliter disesuaikan dengan bentuk dan sifat ancaman yang dihadapi.

Sementara bentuk bangun kekuatannya bukanlah dari hasil persiapan fisik dan keahlian dalam suatu spesifikasi bidang, mengingat keberagaman ancaman yang mungkin timbul. Hasil persiapan fisik dan keahlian di bidangnya hanyalah baru sejajar dengan ketrampilan dalam menggunakan senjata dalam bentuk bangun kekuatan menghadapi ancaman militer. Bentuk bangun kekuatan dalam menghadapai ancaman nonmiliter masif berada dalam kode etik dan sikap profesionalisme, yang dalam konteks kebangsaan dan kenegaraan adalah melekatnya karakteristik, identitas dan integritas serta jati diri bangsa dalam profesionalisme itu.

Dengan bentuk bangun kekuatan  seperti itu upaya pembentukannya tidak dalam tataran intelektualistasnya, tetapi pada aspek kejiwaannya. Bentuk bangun kekuatan dari aspek intelektualitasnya berada dalam pembinaan profesionalismenya, tetapi bentuk bangun kekuatan dibina dalam penguatan aspek sikap mental. Dalam kerangka sistem pertahanan negara bentuk bangun itu diupayakan perwujudannya melalui kesadarannya untuk membela negara. Upaya untuk membentuk bangunannya itu diselenggarakan melalui pendidikan kewarganegaraan. Pendidikan kewarganegaraan sudah tercakup di dalamnya pemahaman tentang kesadaran bela negara.

MEMBANGUN KEKUATAN NONMILITARY DEFENCE

Seperti yang dikemukaan di atas, ancaman yang dihadapi bangsa di era globalisasi bukan hanya fisik tetapi juga non fisik, seperti lemahnya kepercayaan pada kekuatan sendiri, mudah terperangkap ke dalam arus global dan kehilangan jati diri bangsa, serta kehilangan idealisme. Menangkap isyarat luasnya ancaman itu, dilakukan pelebaran sistem pertahanan negara dalam format nonmilitary defence dengan memindahkan pasal perihal bela negara dalam Amandemen UUD 1945, dari semula pada Pasal 30 Ayat (1) ke Pasal 27 Ayat (3). Pasal 30 Ayat (1) berada di Bab XII tentang Pertahanan Negara, sedangkan Pasal 27 Ayat (3) berada di Bab X tentang Warga Negara dan Penduduk. Pemindahan ini mengandung makna bahwa pertahanan negara bukan menjadi hak eksklusif profesi tertentu, sebab ancaman terhadap negara dan bangsa bersifat multidimensional, ia tidak dalam konteks militer, tetapi juga dalam konteks nonmiliter.

Ancaman nonmiliter berada di dalam dinamika segenap aspek kehidupan bangsa, sehingga sistem pertahanan untuk menghadapinya harus dibangun dan diselenggarakan secara dini oleh pemerintah yang melibatkan seluruh warga negara dan penduduk. Untuk itu dalam Pasal 27 Ayat (3) UUD 1945 yang berada dalam Bab X tentang Warga Negara dan Penduduk dengan formulasi: ”Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara.” Untuk membangun dan meyelenggarakannya Undang-Undang Nomor : 3/2002 tentang Pertahanan Negara pada Pasal 9 mengatur:

  ”(1) Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya bela negara yang diwujudkan dalam penyelenggaraan pertahanan negara.

(2) Keikutsertaan warga negara dalam upaya bela negara, sebagaimana  dimaksud dalam ayat (1), diselenggarakan melalui :

a.     pendidikan kewarganegaraan;
b.     pelatihan dasar kemiliteran;
c.     pengabdian sebagai prajurit Tentara Nasional indonesia secara sukarela atau wajib; dan
d.     pengabdian sesuai dengan profesi”

Penjelasan Ayat (1) Pasal 9 ini menyatakan bahwa upaya bela negara adalah sikap dan perilaku warga negara yang dijiwai oleh kecintaannya kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam menjamin kelangsungan hidup bangsa dan negara. Upaya bela negara, selain sebagai kewajiban dasar manusia, juga merupakan kehormatan bagi setiap warga negara yang dilaksanakan dengan penuh kesadaran, tanggung jawab, dan rela berkorban dalam pengabdian kepada negara dan bangsa.

Dari gambaran keikutsertaan warga negara dalam upaya bela negara di atas dapat dipahami bahwa penyelengaraannya dalam spektrum keras adalah pada pelatihan dasar kemiliteran dan pengabdian sebagai prajurit Tentara Nasional Indonesia secara sukarela atau wajib. Dalam hal ini pengabdian sesuai dengan profesi dapat berada dalam spektrum keras dan juga spektrum lunak, mengingat kerangka keikutsertaannya berada dalam pengabdian warga negara sesuai dengan profesinya untuk kepentingan pertahanan negara, yang dapat dijabarkan dalam sistem pertahanan dalam rangka menghadapi ancaman militer maupun nonmiliter. Sedangkan yang berada dalam spektrum lunak dalam kerangka penumbuhan sikap moral dan penanaman pemahaman politik kebangsaan adalah pendidikan kewarganegaraan. Dalam pendidikan kewarganegaraan sudah tercakup di dalamnya pemahaman tentang kesadaran bela negara.

Pendidikan kewarganegaraan dalam kerangka ini adalah suatu upaya untuk menumbuhkan sikap perilaku bela negara yang mencakup pembangunan sikap moral dan watak bangsa serta pendidikan politik kebangsaan yang menjadi bentuk bangun nonmilitary defence. Pembangunan sikap moral dan watak bangsa memberikan ikatan dasar yang dapat mendukung ide kewarganegaraan. Sikap moral dan watak bangsa memberikan arah sikap dan perilaku, karena dapat memberikan kerangka orientasi nilai. Orientasi nilai sama yang dilandasi nilai-nilai komunal (nilai-nilai kebangsaan) yang disepakati merupakan ikatan maya, yang jika tertanam dalam sanubari tiap warga negara justru dapat mengikat kuat karena menjadi pedoman perilaku dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Di sisi lain dalam pendidikan kewarganegaraan juga terdapat pendidikan politik. Melalui pendidikan politik warga negara memperoleh kerangka kesadaran politik, sehingga mampu berpartisipasi atau terlibat dalam kehidupan politik. Dalam pendidikan politik terdapat di dalamnya intensi untuk membentuk insan politik yang menyadarkan status kedudukan politiknya di tengah masyarakat. Pendidikan politik menyangkut aktivitas membentuk diri sendiri dengan kesadaran penuh tanggung jawab untuk menjadi insan politik. Dengan kata lain pendidikan politik bagi warga negara adalah penyadaran warga negara untuk sampai pada pemahaman politik atau aspek-aspek politik dari setiap permasalahan sehingga dapat mempengaruhi dan ikut mengambil keputusan di tengah medan politik dan pertarungan konflik-konflik. Oleh sebab itu dalam pendidikan kewarganegaraan di samping diberikan kesadaran hak juga diberikan kerangka pemahaman tentang kewajiban. Hal ini perlu agar dalam konflik yang terjadi selalu berlandaskan kerangka kesadaran sebagai bagian dari komunitas bangsa. Konfllik yang terjadi harus merupakan konflik yang konstruktif menuju keputusan bersama, sehingga memudahkan implementasi dari keputusan politik yang diambil karena sudah merupakan hal yang disepakati.

Dalam kerangka pemahaman demikian itu pendidikan kewarganegaraan dalam membentuk sumber daya manusia Indonesia yang handal menjadi sub sistemnya, mensejajari subsistem pengembangan kemampuan intelektual. Sistem pembinaan sumber daya manusia Indonesia adalah pengembangan terpadu manusia Indonesia yang mencakup aspek kejiwaan dan aspek intelektual. Sebagaimana telah ditetapkan oleh Bapak Bangsa dalam Pembukaan Undang Undang Dasar 1945, tujuan pembentukan Pemerintahan Negara Indonesia adalah salah satunya mencerdaskan kehidupan bangsa. Formulasi tujuan ini menunjukkan kedalaman filosofi pemahaman hakekat manusia oleh para Bapak Bangsa. Bahwa formulasi tersebut tidak berbunyi mencerdaskan bangsa, karena dengan sisipan kata ”kehidupan” tercakup di dalamnya aspek kejiwaan manusia Indonesia di samping aspek intelektualnya.

Bapak Bangsa secara cemerlang memandang kehidupan bangsa ke depan, bahwa tidak saja aspek intelektual yang diperlukan untuk mengarungi kehidupan kebangsaan. Menyadari kemajemukan yang ada dalam karakteristik bangsa diperlukan sikap moral kebangsaan yang menjadi perekat dari kemajemukan tersebut. Sikap moral dan watak bangsa Indonesia jika hendak menatap cerah kehidupan kebangsaannya harus dilandasi oleh kesadaran kebhinekaan. Terlebih jika sudah memasuki arena politik, pemahaman dan kesadaran akan kebhinekaan ini harus tertanam kuat agar landasan kebijakan yang dikeluarkan dalam mengatur sistem kenegaraan pun juga kemasyarakatan dapat mengakomodasikan seluruh aspirasi yang berkembang, di samping juga dalam prosesnya dilandasi oleh etika politik yang menyadari karakter kebhinekaan  bangsa.

Hal itu dapat dicapai jika baik dari aspek pembentukan sikap moral dan watak bangsa maupun dari aspek pendidikan politik, pendidikan kewarganegaraan mampu meresultantekan keluarannya dalam kemampuan menampilkan sikap dan perilaku patriotik dalam partisipasi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, demi kelangsungan hidup dan pengembangan kehidupan bangsa dan negara.

Pendidikan Kewarganegaraan adalah upaya membangun kekuatan nonmilitary defence melalui upaya menumbuhkan sikap moral dan watak bangsa serta pendidikan politik kebangsaan yang membentuk watak dan kepribadian Bangsa Indonesia yang bertanggung jawab, sadar hak dan kewajiban sebagai warga negara, cinta tanah air, sehingga mampu menampilkan sikap dan perilaku patriotik dalam wujud Bela Negara.


PENUTUP

Nonmilitary defence bekerja untuk menghadapi ancaman nonmiliter. Ancaman nonmiliter secara eksplisit sulit didefinisikan, tetapi ia ada dan melekat dalam dinamika segenap aspek kehidupan bangsa. Ancaman nonmiliter berada dalam dinamika pemanfaatan sumber daya dan sarana serta prasarana nasional. Ia tersebar di berbagai fungsi pemerintahan dan bahkan berada dalam dinamika kehidupan bangsa. Untuk itu sistem pertahanan negara dalam menghadapi ancaman nonmiliter menempatkan lembaga pemerintah di luar bidang pertahanan sebagai unsur utama, sesuai bentuk dan sifat ancaman yang dihadapi dengan didukung oleh unsur-unsur lain dari kekuatan bangsa.

Susunan kekuatan dalam menghadapi ancaman nonmiliter tetap berada dan menjadi unsur dalam pelaksanaan fungsi dan dinamika kehidupan bangsa. Untuk itu unsur utama dalam menghadapi ancaman nonmiliter disesuaikan dengan bentuk dan sifat ancaman yang dihadapi.

Bentuk bangun kekuatan dalam menghadapi ancaman nonmiliter masif berada dalam kode etik dan sikap profesionalisme, yang dalam konteks kebangsaan dan kenegaraan adalah melekatnya karakteristik, identitas dan integritas serta jati diri bangsa dalam profesionalisme itu.

Dengan bentuk bangun kekuatan  seperti itu upaya pembentukannya tidak dalam tataran intelektualistasnya, tetapi pada aspek kejiwaannya. Bentuk bangun kekuatan dalam menghadapi ancaman nonmiliter berada dalam pembinaan profesionalismenya, dengan lekatan penguatan aspek sikap mental. Dalam kerangka sistem pertahanan negara bentuk bangun itu diupayakan perwujudannya melalui kesadarannya untuk membela negara. Upaya untuk membentuk bangunannya itu diselenggarakan melalui pendidikan kewarganegaraan. Pendidikan kewarganegaraan sudah tercakup di dalamnya pemahaman tentang kesadaran bela negara. Bela negara yang dibangun dari sikap moral dan watak bangsa maupun dari aspek pendidikan politik dalam pendidikan kewarganegaraan, mampu meresultantekan keluarannya dalam kemampuan menampilkan sikap dan perilaku patriotik dalam partisipasi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, demi kelangsungan hidup dan pengembangan kehidupan bangsa dan negara.  (WIRA edisi tahun 2006)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KAJI ULANG SKB TENTANG MENWA TAHUN 2000

Standar, Prosedur, Kriteria, PENUTUP