MEMBANGUN KESADARAN BELA NEGARA
                                    (Menggunakan Konsep Jean Jacques Rousseau, 
                                     Mengimplementasikan Resep Hernando de Soto, dengan 
                                     Semangat Umar bin Khatab)


Prolog

Jean Jacques Rousseau adalah filsuf Perancis pengarang buku monumental “du Contract Social” yang menjadi kajian dan rujukan filsafati, politik dan penyelenggaraan negara. Dalam masterpiece itu diuraikan secara gamblang tentang masyarakat, penduduk, dan warga negara. Juga diuraikan dalam buku itu apa dan bagaimana yang disebut  negara, pemerintah, kekuasaan, tiran, dan diktator, pun juga dijelaskan tentang hak, hukum, keadilan, monarki, aristokrasi dan demokrasi.

Dalam uraian panjang lebar tentang berbagai konsep dan relasi yang terjadi dalam perjanjian sosial, yang menarik dan hendak diungkap dari Rousseau adalah bahwa yang terjadi dari dinamika berbagai konsep dan relasi dalam kontrak sosial, ujungnya adalah rasa cinta negara yang berujung pada kesadaran bela negara.

Di awal tulisannya Sang Filsuf melukiskan dirinya sebagai warga negara bebas dan karenanya menjadi bagian dari pemerintahan yang sedang berkuasa. Selanjutnya ia mengatakan bahwa ia tidak memiliki kuasa, kecuali haknya untuk memilih para penguasa. Karena haknya itu maka Sang Filsuf merasa berkewajiban untuk mengamati dan mempelajari jalannya pemerintahan dan kekuasaan mereka. Ketika Sang Filsuf melihat kinerja pemerintahnya mampu menjalankan apa yang diamanatkannya, Sang Filsuf merasa senang dan karenanya selalu memiliki alasan untuk mencintai negara dan pemerintahnya, sadar bela negara.

Keadilan, kesetaraan, dan efisiensi dalam mengelola sumber daya nasional yang mampu memenuhi amanat penderitaan rakyat adalah sangat penting untuk dapat lahirnya kesadaran bela negara. Negara harus jeli melihat dan memanfaatkan seluruh potensi diri mewujudkannya untuk menggugah kesadaran bela negara. Dalam hal ini de Soto memberikan kesadaran potensi negara untuk mengelola sumber daya nasional yang dapat mewujudkan apa yang dikemukakan Rousseau “....... merasa senang dan karenanya selalu memiliki alasan untuk mencintai negara dan pemerintahnya”, tentang kesadaran bela negara.

De Soto adalah ekonom Peru, kandidat hadiah Nobel Ekonomi, penasehat ekonomi Presiden Fujimori yang mengembangkan gagasan untuk menelaah secara kritis misteri kegagalan kapitalisme di Timur dan berjaya di Barat.

Pemahaman Dasar Rousseau Menuju Kesadaran Bela Negara

Sesungguhnyalah dasar konsep Rousseau tentang kontrak sosial menjadi jalan mudah penetapan ukuran tumbuhnya kesadaran bela negara. Kontrak sosial berisi kejelasan kedudukan dan kewajiban masing-masing pihak. Kesadaran bela negara tumbuh jika masing-masing pihak piawai memenuhi kontrak.

Bagi Rousseau aturan sosial adalah hak keramat yang menjadi dasar hak-hak yang lain. Hak semacam itu tidak lahir secara alamiah, tetapi harus ditentukan oleh sebuah kesepakatan atau kontrak. Untuk dapat melakukan kontrak terlebih dahulu harus diperjelas berbagai konsep yang berkaitan dengan kontrak yang akan dilakukan.

Menurut Rousseau keluarga adalah komunitas politik pertama, tanpa saingan dan di dalamnya ada yang menguasai dan dikuasai. Oleh sebab itu keluarga adalah perilaku kontrak sosial terkecil. Masing masing pihak mendapatkan keuntungan dari relasi politik yang berlangsung dalam kontrak itu. Cinta kasih adalah hadiah rasa aman yang diperoleh dari relasi kekuasaan yang berlangsung dalam keluarga.

Namun demikian kekuasaan dan kekuatan bukanlah hak untuk dipatuhi. Dalam kontrak sosial hanya kekuasaan yang legitim saja yang wajib dipatuhi. Konvensilah yang menjadi landasan atas semua otoritas yang ada di antara manusia, karena tidak ada manusia yang secara kodrati berkuasa atas bawahannya dan kekuatan tidak menciptakan hak .

Relasi kontrak sosial adalah relasi penyatuan kekuasaan sekaligus tetap eksis kebebasan yang mengikuti tiap individu. Adanya ambiguitas dalam penyatuan itu mengakibatkan bentuk asosiasi yang unik karena sekaligus sulit secara kodrati. Di dalam asosiasi tersebut orang dapat menyatukan dirinya dengan orang lain, tetapi tetap patuh terhadap dirinya sendiri dan tetap menjadi seorang pribadi yang bebas seperti dia sebelum bergabung dalam asosiasi.

Namun dalam asosiasi itu pula masing-masing dari kita menaruh diri dan seluruh kekuatan di bawah perintah tertinggi dari kehendak umum. Dan dalam kapasitas kita sebagai lembaga yang memiliki ketentuan hukum, kita menerima setiap anggota sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan dari yang lain. Di sinilah kemudian terbangun konsep kekompakan sosial. Dalam seseorang melakukan penyerahan diri pada komunitas meskipun pada dasarnya berarti tidak menyerahkan diri kepada siapapun, namun tereduksi dengan sendirinya untuk memperoleh kepentingan yang lebih besar.

Pereduksian itu seharusnya menjauhkan diri manusia dari kodratinya yang terlahir bebas, namun secara bersamaan diperoleh hal yang setara dengan reduksi yang terjadi, yakni tambahan kekuatan yang melindungi miliknya. Dengan kesediaannya ini, maka manusia sadar akan kedudukannya sebagai bagian dari pribadi yang lebih besar, yang melahirkan moral  dan rangka kolektif yang dapat memperjuangkan kepentingannya, yakni partai.

Partai adalah pribadi publik karena dibentuk oleh persatuan pribadi-pribadi membentuk kesatuan, identitas, hidup dan keinginan, yang menjadi rangka politik atau republik. Dalam kondisi pasif persatuan itu disebut negara, dalam kondisi aktif dikenal dengan istilah pemerintahan, dan dalam perbandingan dengan kekuatan lain yang serupa disebut dengan kekuasaan. Sebagai satu kesatuan, mereka yang tergabung di dalamnya disebut penduduk, dalam hubungan dengan pemerintahan disebut dengan warga negara, dan dalam hubungan dengan hukum negara disebut masyarakat.

Konsepsi dan relasi di atas menunjukkan bahwa tindakan penyatuan menekankan sebuah hubungan timbal balik yang menguntungkan antara individu dengan publik serta bahwa setiap individu dalam melakukan kontrak bahkan dengan dirinya sendiri sekalipun dia terikat dalam kapasitas ganda: yakni sebagai anggota pemerintahan, seorang individu terikat secara pribadi, dan sebagai warga negara, terikat pada pemerintahan. Namun dari sudut pandang hak sipil, tidak ada seorang pun yang mengikat pada dirinya sendiri, tidak berlaku dalam konteks ini karena ada perbedaan signifikan antara menciptakan kewajiban untuk diri sendiri dan menciptakan kewajiban bagi seseorang terhadap seluruh bagian.

Dengan demikian pada dasarnya setiap individu tetap pribadi yang bebas namun berada dalam pribadi publik. Untuk dapat menghubungkan hal itu harus ada perolehan dari relasi dan kontrak sosial yang telah dilakukannya. Perolehan itu diciptakan dalam pribadi publik negara yang diwujudkan oleh pemerintah, melalui perjuangan agregasi aspirasi dalam partai. Dinamika inilah yang yang menghasilkan relasi timbal balik dari penyerahan pribadi bebas terlahir perilaku cinta negara, cinta bangsa, yang berujung pada kesadaran bela negara.

Bela negara pada dasarnya adalah nation and state building yang menurut Safroedin Bahar menjadi esensi permasalahan yang dihadapi negara-negara baru Pasca Perang Dunia II, dalam wujud merangkai old societies menjadi new state. Bagaimana kontrak sosial yang dapat merubah komunitas antropologis tradisional (old societies), yang mempunyai sejarah dan kebudayaan yang amat tua, menjadi struktur negara modern (new state), sehingga terbangun nation and state building dan warganya sadar bela negara.


Resep Hernando de Soto, Mengimplementasikan Kontrak Sosial Mewujudkan Salah Satu Aspirasi Pribadi Bebas dan Relasi Sadar Bela Negara

Salah satu aspirasi, dipergunakan menjadi pembatas, mengingat banyak aspirasi dari pribadi-pribadi yang bebas baik secara vertikal maupun horizontal. Dalam konteks ini resep de Soto merupakan salah satu dari banyak resep mengantisipasi ragam aspirasi pribadi yang bebas. Nation and state building sebagai landasan bela negara tidak hanya memerlukan resep de Soto saja, tetapi juga memerlukan rekayasa struktur politik yang didukung adaptasi kultural terencana, baik di antara pribadi yang bebas, yang dalam konteks Safroedin Bahar adalah kalangan elite pendiri negara maupun di kalangan massa yang hidup di “akar rumput”, yang melakukan kontrak sosial.

Resep de Soto menjadi fokus karena menggunakan hierarkhi kebutuhan Maslow, kebutuhan dasar adalah kebutuhan biologis yang berhubungan langsung dengan nilai dan dinamika ekonomi. Resep de Soto adalah resep ekonomi hasil telaahan terhadap kapitalisme. 

Ketika old societies sudah menjadi new state, kekaguman-kekaguman new state terus berlanjut. Pada awalnya kekaguman itu berada dalam wilayah politik, melalui adopsi struktur politik modern dan demokratis, tetapi budaya dan karakter tetap old societes. Dengan kondisi seperti itu pergeseran terus berlanjut merambah ke sistem ekonomi. Kapitalisme menjadi kekaguman ekonomi para new state.

Dalam pada itu runtuhnya tembok Berlin menandai dorongan pandangan bahwa kapitalisme menjadi satu-satunya jalan untuk menyelenggarakan perekonomian modern. Hampir seluruh negara di dunia menempuh jalan kapitalisme dalam menjalankan perekonomiannya. Tetapi dari penerapan tersebut ternyata hasilnya mengecewakan, terbukti pada dasa warsa terakhir di negara-negara tersebut didera malapetaka ekonomi dengan dibarengi kelaparan kerusuhan dan penjarahan.

Berbagai kegagalan tersebut dijustifikasi karena new state belum siap secara budaya menjalankan kapitalisme. Pandangan inferior ini ditentang keras oleh de Soto. De Soto justru melihat sebaliknya, bahwa warga new state adalah manusia yang gigih berusaha, memiliki bakat, semangat dan kemampuan memperoleh untung dari situasi yang paling sulit sekalipun. Pasar yang menjadi peredaran kapital, adalah lembaga yang sudah sangat tua mereka kenal.  Inti pandangan de Soto adalah tidak ada perbedaan signifikan kinerja manusia new state dan negara Barat.

Menurut de Soto yang membedakan dan menjadi sebab kegagalan kapitalisme di new state adalah ketakmampuan menghasilkan modal (inability to produce capital). Inilah sebenarnya biang keladi kegagalan kapitalisme di new state, dan bukan budaya. Bukankah kapitalisme nyawanya adalah modal.

Berdasarkan penglihatannya itu de Soto melakukan pembuktian. De Soto melakukan riset di sudut-sudut kota dan pelosok-pelosok desa di Asia, Afrika, Timur Tengah dan Amerika Latin, dan menemukan bahwa mayoritas rakyat miskin sesungguhnya memiliki harta kekayaan (assets) yang diperlukan demi suksesnya kapitalisme. Menurut penelitian de Soto, di negeri paling miskin sekalipun rakyat miskin tetap menabung dan nilai tabungannya besar sekali. Begitu besarnya nilai tabungan, sehingga secara global bantuan luar negeri sejak tahun 1945 hanya 1/40 dari nilai tabungan si miskin secara global pula. Bahkan data masing-masing negara yang diteliti sangat mencengangkan. Di Mesir nilainya 55 kali seluruh investasi asing langsung yang diterima, termasuk Terusan Suez dan Bendungan Aswan, di Haiti yang termiskin di Amerika Latin nilainya 150 kali lebih besar dari seluruh investasi asing yang diterimanya sejak merdeka dari Perancis tahun 1804.

Hitungan itu diperoleh de Soto dengan membongkar belenggu kecacadan yang melingkupi barang atau property seperti: rumah di tanah yang tidak jelas pemiliknya, industri yang tersebar di tempat yang tidak terlihat oleh investor (industri rumahan). Karena wujud property seperti itu tidak dapat tercatat, maka sebagai assets tidak siap dialihkan menjadi modal, konkritnya tidak dapat diperjualbelikan di pasar yang lebih luas dari pada lingkungan si miskin.

Pencatatan dalam dokumen merupakan pertanda proses sosial yang luas dan tidak kasat mata yang menghubungkan semua kekayaan tadi dengan dunia perekonomian. Berdampingan dengan nilai fisik kekayaan itu, dokumen kekayaan ini menciptakan nilai lain yang jauh lebih besar seperti agunan kredit. Perwujudan berupa dokumen itulah yang tidak berhasil dilaksanakan new state, sehingga mengakibatkan harta kekayaan rakyat mereka tetap tinggal dead capital.

Apabila dead capital ini dapat diurai, maka new state tidak perlu lagi berhutang ke negara lain. Negara baru (new state) dapat mandiri dan maju karena tahu, mampu dan mau mengelola dan mengolah potensi dan kekayaannya sendiri. Hal ini dapat terwujud dengan satu syarat. Sebagaimana Parakitri T. Simbolon dalam wawancara imajinernya dengan de Soto mengulas karyanya “The Mistery of Capital: Why Capitalism Triumphs in the West and fails Everywhere Else (2000), konsep de Soto yang dipaparkan memang sebatas dataran pemikiran, sementara betapapun juga dibutuhkan atau dipersyaratkan “komitmen yang sungguh-sungguh”.

Terlepas dari berbagai kritik akademis maupun kritik waton suloyo dari berbagai pihak terhadap resep de Soto, nampak di dalamnya semangat kemandirian dan penyadaran potensi diri untuk berdiri di atas kaki sendiri dalam membangun bangsa. Resep de Soto menjadi salah satu solusi. Sama seperti solusi-solusi yang lain harus diakui peringatan pada Penjelasan UUD 1945 sebelum Amandemen masih sangat relevan. Peringatan tersebut adalah tergantung pada “semangat penyelenggara negara”, yang dalam bahasa manajemen disebut sebagai komitmen. Dalam hal ini komitmen yang sungguh-sungguh dilukiskan dengan lugas oleh Umar bin Khatab “Saya orang pertama yang merasakan lapar kalau rakyat kelaparan dan orang terakhir yang merasakan kenyang kalau mereka kenyang”. Artinya seorang pemimpin harus harus memikirkan rakyat sebelum memikirkan dirinya sendiri.

Dengan strategi permodalan sebagaimana dikemukakan de Soto, dan implementasi seperti yang dilukiskan dan dilaksanakan secara lugas oleh Umar bin Khatab, sangat jelas bagaimana kontrak sosial dijalankan dan mudah sebenarnya membangun kesadaran bela negara.

Epilog

Jean Jacques Rousseau di Perancis, Hernando de Soto di Peru, Umar bin Khatab di Jazirah Arab. Pernahkah mereka kenal dan mengenal satu sama lainnya? Mungkin kita sepakat mereka tidak kenal. Tetapi mungkin juga mereka kenal dan bersahabat atau bahkan bersaudara di kehidupan masa lalu, kata saudara-saudara kita masyarakat Tiong Hoa.

Terlepas dari pertanyaan itu, yang jelas konsep dan sepak terjang mereka dapat terhubungkan. Jean Jacques Rouseou dengan kontrak sosialnya yang menjadi ukuran warga negara untuk berelasi bela negara karena negara dapat memenuhi kontraknya, dapat menggunakan resep Hernando de Soto untuk memenuhi salah satu kontrak ekonominya yang secara cerdas mengungkap dan menggunakan modal tersembunyi, dengan penyelenggara-annya didasari oleh pribadi inspiratif sepak terjang Umar bin Khatab.

Dengan menghubungkan dan menerapkan ketiga konsep dari tiga tokoh tersebut, mudah dan jelas sesungguhnya bagaimana kesadaran bela negara dibangun dan lahir. Bukankah tumbuhnya cinta negara, cinta bangsa yang berujung pada kesadaran bela negara adalah bagian dari bagaimana negara dan bangsa mampu memberikan kebutuhan yang diperlukan oleh warga negaranya? Tidak hanya sebatas itu, tetapi bagaimana negara memenuhinya juga menjadi dasar lahirnya kesadaran bela negara, karena kesamaan pemahaman cara untuk mencapainya menjadi bagian dari kepuasan warga negara atas layan negara.


Referensi

Bastoni, Hepi Andi, “Belajar dari Dua Umar, Kenyangkan Perut Rakyat”, Jakarta Qalammas,  
                  2006.

Peresthu, Andrea dan Riyanto, Yohanes E., “Soto dari Peru”, dalam Bagus Darmawan (ed), Esai-Esai Nobel Ekonomi, Jakarta, Penerbit Buku Kompas, 2007.

Rousseau, Jean Jacques, “Du Contract Social (Perjanjian Sosial)”, penyunting Nino Cicero, Jakarta, Visi Media, 2007.

Simbolon, Parakitri T., “Para Penguasa dan Penasihat Ahli, Bacalah Ini! (Wawancara Imajiner dengan Hernando de Soto)”, dalam Bagus Darmawan (ed), Esai-Esai Nobel Ekonomi, Jakarta, Penerbit Buku Kompas, 2007.

Safroedin Bahar, “Konvensi Montevideo 1933 Sebagai Rujukan Struktural Bagi Proses Nation-and State-Building di Indonesia”, http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=86& Itemid=54

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KAJI ULANG SKB TENTANG MENWA TAHUN 2000

Standar, Prosedur, Kriteria, PENUTUP