"Antara Strategi dan Realita: Implementasi Perpres 115/2022 dalam Bayang-bayang Krisis Domestik dan Geopolitik Global"
SELAMAT HARI BELA NEGARA 19 DESEMBER
Oleh: KD. Andaru Nugroho*
Pendahuluan: Harapan di Tengah
Kekacauan
Pemerintah Indonesia menerbitkan Peraturan
Presiden Nomor 115 Tahun 2022 tentang Penyelenggaraan Pembinaan Kesadaran Bela
Negara sebagai bagian dari strategi memperkuat ketahanan nasional berbasis
kesadaran warga negara. Regulasi ini memuat arah kebijakan pembinaan bela
negara yang bersifat lintas sektor, mencakup dunia pendidikan, kelembagaan
pemerintahan, organisasi masyarakat, dan elemen individu. Harapannya,
nilai-nilai dasar bela negara—cinta tanah air, kesadaran berbangsa, taat pada
konstitusi, rela berkorban, dan kemampuan awal bela negara—dapat diinternalisasi
secara sistematis, mulai dari ranah normatif hingga perilaku nyata dalam
kehidupan sehari-hari.
Namun, implementasi Perpres 115/2022
tidak berlangsung dalam ruang yang steril dari persoalan. Sebaliknya, regulasi
ini hadir di tengah kondisi nasional yang justru menunjukkan tanda-tanda
kemunduran dalam konsistensi nilai-nilai kebangsaan. Blunder dalam kebijakan
pertambangan, yang sering kali menimbulkan konflik sosial dan kerusakan
ekologis, mencerminkan ketidakhadiran negara dalam menjaga amanat konstitusi.
Demikian pula, maraknya korupsi di berbagai sektor publik telah memperlemah
integritas kelembagaan dan menciptakan apatisme sosial terhadap nilai
kebangsaan. Tidak hanya itu, perilaku sebagian aparat penegak hukum yang justru
melanggar hukum semakin merusak kepercayaan publik terhadap negara dan hukum
sebagai instrumen bela negara itu sendiri.
Di sisi lain, ancaman non-fisik juga
kian mengemuka. Penyalahgunaan narkoba di kalangan generasi muda, penyebaran
hoaks dan ujaran kebencian di media sosial, serta fragmentasi sosial akibat
polarisasi politik menjadi medan yang semakin kompleks bagi upaya menanamkan
semangat bela negara. Realitas ini menunjukkan bahwa bela negara bukan lagi
persoalan doktriner, tetapi menyentuh aspek struktural dan kultural dalam kehidupan
berbangsa.
Pada saat yang sama, dinamika global
menambah beban strategis nasional. Dunia tengah berada di ambang perang terbuka
yang melibatkan kekuatan besar global, dengan ketegangan di Eropa Timur, Timur
Tengah, dan Indo-Pasifik. Persaingan geopolitik yang dibarengi dengan ancaman
perang siber, infiltrasi ideologi transnasional, dan krisis energi membuat
urgensi pertahanan semesta menjadi tak terelakkan. Dalam konteks ini,
pertanyaan besarnya adalah: apakah Perpres 115/2022 cukup relevan dan kuat untuk
menjawab tantangan zaman yang makin kompleks ini?
Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji
secara kritis pelaksanaan Perpres 115/2022 dalam lanskap sosial-politik
dan geopolitik yang terus bergerak. Dengan pendekatan analitis dan reflektif,
penulis berusaha memetakan hambatan, potensi, dan celah strategis dalam
implementasi regulasi ini, sembari menawarkan sejumlah gagasan untuk memperkuat
aktualisasi bela negara sebagai bagian integral dari ketahanan nasional yang
tidak hanya bersifat simbolik, tetapi juga substantif.
Blunder Tata Kelola: Antitesis Bela
Negara
Semangat bela negara yang diusung
dalam Perpres 115/2022 seharusnya menjadi fondasi moral dan operasional dalam
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan nasional. Namun, kenyataan di
lapangan menunjukkan kontras yang mencolok antara semangat normatif dan praktik
kebijakan di berbagai sektor strategis. Alih-alih memperkuat ketahanan
nasional, sejumlah blunder tata kelola justru memperlemah sendi-sendi negara,
menciptakan ruang subur bagi disintegrasi sosial dan demoralisasi publik.
Salah satu sektor yang mencerminkan
paradoks ini adalah bidang pertambangan. Kebijakan yang semestinya menjamin
pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan dan adil, justru sering kali
berpihak pada kepentingan jangka pendek dan kelompok elite ekonomi. Dampaknya
tidak hanya terlihat pada kerusakan ekologis dan konflik agraria, tetapi juga
pada rasa keadilan sosial yang terkoyak. Ketika masyarakat menyaksikan kekayaan
alam dieksploitasi tanpa kendali, sementara kesejahteraan tidak merata,
nilai-nilai bela negara kehilangan daya hidupnya—karena negara tampak abai
terhadap kepentingan rakyatnya sendiri.
Fenomena korupsi yang masih mengakar
juga menjadi antitesis paling tajam terhadap semangat bela negara. Praktik
korupsi di sektor pemerintahan, penegakan hukum, dan badan usaha milik negara
melemahkan legitimasi institusi publik serta menurunkan partisipasi warga dalam
membela negara. Sebab, bagaimana mungkin rakyat diajak mencintai negara jika
sebagian penyelenggara negaranya mengkhianati amanah? Korupsi bukan hanya
kejahatan finansial, tetapi juga bentuk perusakan atas kontrak sosial dan
ideologi kebangsaan.
Lebih jauh lagi, sebagian aparat
penegak hukum justru terlibat dalam praktik yang merusak nilai keadilan dan
kepastian hukum. Skandal-skandal hukum yang melibatkan institusi penegak
keadilan memunculkan persepsi bahwa hukum kerap dijadikan alat kekuasaan, bukan
sebagai panglima dalam kehidupan berbangsa. Dalam konteks ini, semangat bela
negara tidak mungkin tumbuh di tengah hilangnya rasa aman, kepercayaan, dan
keadilan.
Blunder tata kelola seperti ini
menjadi batu sandungan serius bagi implementasi Perpres 115/2022. Bela negara
bukan hanya persoalan narasi atau kampanye, tetapi menyangkut keteladanan,
transparansi, dan konsistensi arah kebijakan. Ketika institusi negara gagal
menunjukkan integritas dan akuntabilitas, maka ajakan untuk membela negara
berisiko menjadi kosong makna. Nilai-nilai kebangsaan yang hendak ditanamkan
justru mudah dicurigai sebagai instrumen kekuasaan, bukan sebagai bagian dari
pembangunan karakter bangsa.
Oleh karena itu, jika negara sungguh
ingin membumikan semangat bela negara secara luas, maka pembenahan tata kelola
menjadi syarat mutlak. Regulasi seperti Perpres 115/2022 hanya akan efektif
jika diiringi oleh upaya kolektif memperbaiki institusi, menegakkan hukum
secara adil, serta menghadirkan negara secara nyata dalam menjamin
kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Narkoba, Medsos, dan Disorientasi
Generasi: Ranjau Sosial dalam Pembinaan Bela Negara
Salah satu ancaman nyata adalah meningkatnya
penyalahgunaan narkoba di kalangan pelajar, mahasiswa, bahkan oknum aparat dan
pejabat. Narkoba bukan hanya merusak fisik dan mental individu, tetapi juga
menghancurkan semangat kolektif untuk membela negara. Ketika generasi penerus
bangsa terjerumus dalam candu, maka daya tahan moral dan ideologis bangsa akan
melemah secara perlahan. Ironisnya, upaya penanggulangan narkoba seringkali
bersifat represif dan sporadis, alih-alih berbasis pencegahan struktural dan
edukatif. Hal ini menunjukkan lemahnya ekosistem sosial yang mestinya mendukung
agenda pembinaan kesadaran bela negara.
Di sisi lain, media sosial telah
menjadi ruang publik baru yang penuh potensi sekaligus jebakan. Di satu sisi,
media sosial memungkinkan penyebaran nilai-nilai kebangsaan dengan cara yang
lebih kreatif dan inklusif. Namun di sisi lain, ruang digital ini juga menjadi
ladang subur bagi penyebaran hoaks, ujaran kebencian, disinformasi politik, dan
infiltrasi ideologi transnasional. Tanpa kemampuan literasi digital yang
memadai, masyarakat—terutama generasi muda—menjadi rentan terpapar narasi yang
mengikis semangat kebangsaan dan memperkuat identitas sempit.
Fenomena disorientasi generasi juga
tampak dari melemahnya kesadaran sejarah, apatisme terhadap politik kebangsaan,
serta menguatnya gaya hidup individualistik dan konsumtif. Orientasi hidup yang
semakin pragmatis dan materialistik sering kali menjauhkan individu dari nilai
luhur bela negara seperti solidaritas, keikhlasan berkorban, atau cinta tanah
air. Di tengah arus budaya global yang tak terbendung, negara perlu hadir
melalui kebijakan yang membangun identitas nasional secara konstruktif, bukan
sekadar menyerukan slogan patriotik.
Jika Perpres 115/2022 ingin
benar-benar menyentuh realitas generasi masa kini, maka pembinaan kesadaran
bela negara tidak cukup berhenti pada ceramah, sosialisasi, atau pendidikan
formal yang sifatnya normatif. Dibutuhkan pendekatan yang dialogis,
kontekstual, dan partisipatif—yakni dengan masuk ke ekosistem kultural tempat
generasi muda hidup dan berinteraksi. Hal ini mencakup kolaborasi dengan
komunitas, dunia seni, industri kreatif, serta pemanfaatan media digital yang
ramah nilai kebangsaan.
Dengan demikian, tantangan bela
negara di era digital dan narkotika bukan lagi sekadar mengatasi ancaman,
tetapi menata ulang cara negara hadir di tengah masyarakat. Negara tidak bisa
hanya mengajak rakyat untuk membela, tetapi harus terlebih dahulu mampu
menunjukkan bahwa negara layak untuk dibela—terutama melalui perlindungan
generasi muda dari ancaman kultural dan sosial yang merusak masa depan bangsa.
Perpres 115/2022 di Tengah Ancaman
Global: Siapkah Kita Menghadapi Perang Dunia Baru?
Dunia saat ini tengah berada dalam
fase transisi geopolitik yang tidak menentu, bahkan sebagian pengamat menyebutnya
sebagai tahap awal menuju konflik global terbuka atau “Perang Dunia Ketiga”
versi kontemporer. Eskalasi ketegangan antara blok Barat dan Timur, konflik
bersenjata di Ukraina, ketegangan di Laut China Selatan, serta meningkatnya
potensi konfrontasi di Timur Tengah menunjukkan bahwa stabilitas dunia berada
pada ujung tanduk. Di tengah kondisi ini, pertahanan suatu negara tidak hanya
bergantung pada kekuatan militer, tetapi juga pada kesadaran kolektif warga
negara dalam menjaga kedaulatan, kohesi sosial, dan ketahanan nasional secara
menyeluruh.
Bela negara dalam konteks
kontemporer tak lagi sebatas mobilisasi senjata atau wajib militer, tetapi
mencakup peran aktif warga negara dalam menghadapi ancaman multidimensi—mulai
dari ancaman ekonomi, informasi, siber, hingga infiltrasi ideologi asing. Di
sinilah letak urgensi Perpres 115/2022, yang menawarkan pendekatan
pembinaan kesadaran bela negara secara menyeluruh dan lintas sektor. Namun,
muncul pertanyaan krusial: apakah arsitektur kebijakan ini benar-benar mampu
menjawab tantangan zaman yang kian kompleks?
Secara normatif, Perpres ini sudah
menunjukkan langkah maju dalam mengintegrasikan bela negara ke dalam sistem
pendidikan, pemerintahan, serta organisasi masyarakat. Namun dalam praktiknya,
implementasi masih menghadapi tantangan kelembagaan, fragmentasi antar aktor
kebijakan, serta minimnya pemetaan strategi terhadap potensi ancaman baru.
Misalnya, belum terlihat adanya korelasi langsung antara pembinaan bela negara
dengan isu ketahanan siber, stabilitas pangan dan energi, atau krisis kesehatan
global—padahal semua ini merupakan bagian dari pertahanan semesta dalam arti
luas.
Lebih jauh, tantangan global
menuntut kesiapsiagaan nirmiliter yang kuat: diplomasi sipil, kemampuan
masyarakat dalam mitigasi bencana, kapasitas relawan medis, pertahanan
informasi, hingga stabilitas psikososial masyarakat. Semua ini membutuhkan
struktur pembinaan bela negara yang adaptif, kolaboratif, dan berbasis risiko.
Jika kerangka implementasi Perpres 115/2022 tidak segera diperluas dan
disesuaikan dengan spektrum ancaman mutakhir, maka kebijakan ini berisiko
terjebak dalam rutinitas birokrasi tanpa daya tanggap strategis.
Sebagai negara dengan posisi
geostrategis yang vital di Indo-Pasifik, Indonesia tidak bisa bersikap netral
secara pasif. Ketahanan nasional harus dimulai dari rakyat yang teredukasi,
sadar akan peran strategisnya, dan memiliki kepercayaan bahwa negara hadir
melindungi mereka. Di sinilah pentingnya membangun jembatan antara visi
geopolitik nasional dengan program pembinaan bela negara di lapangan.
Dengan kata lain, tantangan global bukan alasan untuk membatalkan agenda bela negara, tetapi justru memperkuat urgensinya. Namun agar kebijakan ini memiliki makna, negara harus mampu memproyeksikan arah pertahanan semesta yang tidak semata reaktif terhadap ancaman, melainkan proaktif membangun kesadaran, resiliensi, dan solidaritas kebangsaan yang hidup.
Rekomendasi Strategis
Realitas implementasi Perpres 115
Tahun 2022 memperlihatkan ketegangan yang nyata antara strategi kebijakan
dan dinamika sosial-politik yang melingkupinya. Di satu sisi, Perpres ini
memuat visi strategis untuk memperkuat kesadaran bela negara secara inklusif
dan berkelanjutan. Di sisi lain, ia berhadapan langsung dengan berbagai
tantangan domestik—korupsi, kerusakan tata kelola, penyalahgunaan narkoba,
disrupsi media sosial, serta lemahnya keteladanan institusional—yang justru
merongrong nilai-nilai dasar yang hendak ditanamkan.
Lebih dari itu, konteks geopolitik
global yang terus bergolak menuntut respons strategis dari seluruh komponen
bangsa. Bela negara bukan lagi semata urusan militer, tetapi berkaitan erat
dengan pertahanan nirmiliter: kecakapan digital, ketahanan pangan dan energi,
kesehatan publik, dan daya tahan psikososial masyarakat. Oleh karena itu,
Perpres 115/2022 harus dipahami sebagai kerangka dasar yang perlu terus
dikembangkan secara kontekstual, kolaboratif, dan adaptif terhadap perkembangan
zaman.
Berdasarkan analisis pada bab-bab sebelumnya,
berikut sejumlah rekomendasi strategis yang dapat dipertimbangkan untuk
menguatkan implementasi Perpres 115/2022:
1.
Integrasi Bela Negara ke Dalam Semua Kebijakan Publik
Pembinaan kesadaran bela negara tidak boleh eksklusif pada
sektor pendidikan atau pertahanan saja. Nilai-nilai bela negara harus
terintegrasi dalam perumusan kebijakan publik lintas sektor, mulai dari
perencanaan wilayah, lingkungan hidup, kebijakan ekonomi, hingga pengelolaan
media digital.
2.
Penguatan Keteladanan Institusional dan Kepemimpinan Publik
Keteladanan elite dan lembaga negara merupakan faktor utama
dalam membangun kepercayaan masyarakat. Pemerintah perlu memastikan bahwa nilai
bela negara diwujudkan dalam etika kepemimpinan, transparansi anggaran, serta
keadilan dalam penegakan hukum.
3.
Revitalisasi Ekosistem Sosial untuk Generasi Muda
Program bela negara harus mampu menyentuh ruang hidup
generasi muda melalui pendekatan berbasis komunitas, budaya populer, teknologi
digital, dan aktivitas yang relevan dengan kehidupan mereka. Kolaborasi dengan
organisasi masyarakat sipil, kampus, serta pelaku industri kreatif sangat
diperlukan.
4.
Penguatan Aspek Kewaspadaan Strategis dan Horizon Scanning
Negara perlu membangun sistem peringatan dini dan analisis
jangka panjang terhadap tren ancaman global—baik di bidang geopolitik,
teknologi, maupun bencana—agar pembinaan bela negara tetap relevan dan
proaktif.
5.
Penyesuaian Perpres dengan Agenda Ketahanan Nirmiliter
Perluasan pemahaman bela negara harus mencakup isu-isu
nirmiliter yang strategis: stabilitas informasi, keamanan siber, ketahanan
pangan, kesehatan masyarakat, dan ketangguhan sosial. Hal ini memerlukan
penyusunan dokumen turunan (misalnya Rencana Aksi Nasional) yang bersifat
operasional dan fleksibel.
Penutup
Bela negara adalah fondasi
keberlanjutan sebuah bangsa—tetapi ia tidak dapat tumbuh di atas ketimpangan,
ketidakadilan, dan ketidakpercayaan publik. Perpres 115/2022 adalah langkah
awal yang penting, namun belum cukup. Implementasinya memerlukan koreksi arah,
pembenahan institusi, dan rekonstruksi strategi yang berpihak pada rakyat
sebagai subjek utama pertahanan negara.
Di tengah dunia yang semakin tidak
menentu dan dalam negeri yang terus diuji oleh krisis moral dan tata kelola,
bangsa Indonesia membutuhkan lebih dari sekadar regulasi. Ia membutuhkan
konsensus baru—bahwa membela negara berarti membangun keadilan, memelihara
integritas, dan merawat harapan kolektif sebagai bangsa yang merdeka,
berdaulat, dan bermartabat di tengah peradaban dunia.
![]()
Komentar
Posting Komentar