PERTAHANAN SIPIL
DALAM SISTEM PERTAHANAN NEGARA BERSIFAT SEMESTA

Pendahuluan: Sistem Pertahanan Semesta dan Pertahanan Sipil

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara menetapkan bahwa pertahanan negara adalah segala usaha untuk mempertahankan kedaulatan negara, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan keselamatan segenap bangsa dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.

Sistem pertahanan negara yang mengaturnya ada di Pasal 1 angka 2. yakni sistem pertahanan yang bersifat semesta yang melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumberdaya nasional lainnya, serta dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan secara total, terpadu, terarah, dan berlanjut untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman.

Selanjutnya subsistem pertahanan negara yang dibangun dituangkan dalam Pasal 7 ayat (2) dan ayat (3). Ayat (2) mengatur bahwa sistem pertahanan negara dalam menghadapi ancaman militer menempatkan Tentara Nasional Indonesia sebagai komponen utama dengan didukung oleh komponen cadangan dan komponen pendukung. Sedangkan ayat (3)nya mengatur bahwa sistem pertahanan negara dalam menghadapi ancaman nonmiliter menempatkan lembaga pemerintah di luar bidang pertahanan sebagai unsur utama, sesuai dengan bentuk dan sifat ancaman yang dihadapi dengan didukung oleh unsur-unsur lain dari kekuatan bangsa.

Mencermati sistem pertahanan dimaksud nampak terlihat dua subsistem pertahanan negara bersifat semesta, yakni subsistem pertahanan negara menghadapi ancaman militer dan subsistem pertahanan negara menghadapi ancaman nonmiliter. Dengan dua subsistem itu dimanakah letak pertahanan sipil (civil defence) dalam sistem pertahanan semesta? Tulisan ini hendak memberikan telaahan kritis konteks pertahanan sipil dalam sistem pertahanan semesta.

Pertahanan Sipil: Perkembangan Universal

Pertahanan sipil (civil defence) dalam terminologi International Civil Defence Organization (ICDO) merupakan fungsi yang dipersiapkan untuk menghadapi natural or  man-made disaster. Ia merupakan fungsi yang bekerja untuk “.....ensuring the protection and assistance of population and safeguarding property and the environment from natural or man-made disasters (http://www.icdo.org/). Natural or man-made disaster yang menjadi ancaman yang dihadapi tidak memerlukan kekuatan bersenjata dan pada galibnya bentuk serta sifat ancamannya tidak sampai mengancam dan mengganggu keutuhan bangsa dan negara, sehingga ia disebut pertahanan sipil. Dalam hal ini mengingat ancaman yang terjadi adalah ancaman terhadap dinamika keseharian kehidupan masyarakat, maka pertahanan sipil pada dasarnya adalah penjagaan keselatan umum.

Pemahaman itu merupakan pemahaman yang berkembang, karena pada awalnya pertahanan sipil berkaitan dengan keselamatan masyarakat dari serangan militer (civil protection) (http://en.wikipedia.org/wiki/Civil_defense#By_nation). Prinsip-prinsip yang dipergunakan dalam pertahanan sipil ini adalah operasi kedaruratan (emergency operation) yang meliputi: pencegahan (prevention), pengurangan dampak (mitigation), persiapan, tanggapan atau evakuasi darurat dan recovery. Pemahaman demikian murni dilandasi pemikiran bahwa pertahanan adalah semata-mata militer. Militer harus bertempur melawan militer tidak boleh pertempuran yang terjadi berimbas kepada kerugian warga sipil (nonkombatan) atau kerugian material sipil. Masyarakat tetap harus dilindungi dalam suatu pertempuran, karena kepentingan strategis dan taktis militer hanyalah penguasaan ruang wilayah.

Pemikiran awal pertahanan sipil demikian itu telah menjadi isu yang dipikirkan dan dibahas pada tahun 1920an yang kemudian dilaksanakan beberapa negara. Pertahanan sipil itu kemudian menjadi perhatian penting di Amerika pada saat senjata nuklir diciptakan.  Pemahaman dan implementasi pertahanan sipil kemudian berkembang di era Perang Dingin berkaitan dengan perlindungan dari serangan nuklir dengan pemaknaan yang kemudian lebih luas. Pada era Perang dingin inilah terjadi pergeseran cakupan yang signifikan, karena dari semula hanya berkaitan dengan perlindungan dari serangan militer berkembang perlindungan dari bencana pada umumnya. Hal ini terpetik dari pemikiran bahwa pada dasarnya perang adalah bencana. Bencana itu sendiri tidak hanya berupa perang namun dapat juga berupa bencana alam. Dengan konsep pertahanan sipil baru ini melahirkan berbagai istilah dengan arti dan cakupan masing-masing, seperti crisis management, emergency management, emergency preparedness, contingency planning, emergency services, dan civil protection.

Pada beberapa negara tidak linier perkembangan pertahanan sipilnya alias mengalami perkembangan pemahaman dan cakupan yang berbeda dengan apa yang dikemukakan di atas. Swedia dengan istilah totalfรถrsvar merujuk pada total defence yang bermakna komitmen segenap sumber daya bangsa untuk kepentingan pertahanan negara, termasuk perlindungan sipil. Pertahanan sipil di Swedia mirip dengan perkembangan pertahanan sipil dalam sistem pertahanan semesta yang dianut Indonesia.

Pertahanan Sipil dalam Sistem Pertahanan dan Keaman Rakyat Semesta: dari Hansip Menjadi Linmas

Perihal pertahanan sipil yang dimasukkan ke dalam sistem pertahanan negara, sesungguhnya merupakan perkembangan alamiah sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Organisasi pertahanan sipil secara embrional telah mulai ada sejak tahun 1945, di mana rakyat Indonesia secara serentak dan spontan bangkit mengangkat senjata mengusir penjajah. Jika pertahanan pada umumnya di era itu secara spontan terbentuk sebagai kekuatan militer, demikian juga kekuatan nirmiliter terbentuk secara spontan menangani pengungsi.

Walaupun nama pertahanan sipil (Hansip) secara formal baru diadakan saat TRIKORA, namun dalam fungsi dan perannya, Hansip adalah pewaris historis dari Pasukan Gerilya Desa (Pager Desa) semasa perang kemerdekaan (masa gerilya), yang mengalami perkembangannya sebagai organisasi perlawanan rakyat (OPR).[1] Secara sistimatis sebagai bagian dari Rakyat Terlatih yang berujung pada pertahanan sipil perkembangan sejarah pembentukan kekuatan pertahanan negara dari komponen rakyat dapat adalah sebagai berikut:[2]
  1. Pasukan Gerilya Desa (Pager Desa) termasuk Mobilisasi Pelajar (Mobpel) sebagai bentuk perkembangan dari Barisan Cadangan dalam periode Perang Kemerdekaan ke-II;
  2. Organisasi Keamanan Desa (OKD) dan Organisasi Perlawanan Rakyat (OPR), sebagai bentuk kelanjutan Pager Desa, yang dikembangkan pada periode 1958-1960;
  3. Pertahanan Sipil, Perlawanan dan Keamanan Rakyat termasuk Resimen Mahasiswa, sebagai bentuk kelanjutan dan penyempurnaan Organisasi Keamanan Desa/Organisasi Perlawanan Rakyat,sejak tahun 1961;
OPR secara yuridis tidak dikenal dalam Undang-Undang 29 Tahun 1954 tentang Pertahanan Negara Republik Indonesia, karena memang sedang mencari bentuk yang dirumuskan sebagai rakyat dilatih untuk melakukan perlawanan, sama fungsinya dengan OPR. OPR muncul seiring OKD sebagai manifestasi baru dari Pager Desa, yang secara yuridis diakomodasi dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Pokok-pokok Pertahanan Negara Republik Indonesia dan dikelompokkan dalam Rakyat Terlatih.

Rakyat terlatih adalah komponen dasar kekuatan pertahanan keamanan negara, yang mampu melaksanakan fungsi Ketertiban Umum, Perlindungan Rakyat, Keamanan Rakyat dan Perlawanan Rakyat dalam rangka penyelenggaraan pertahanan keamanan negara (Pasal 11 Undang-Undang  Nomor: 20 Tahun 1982).

Uraian fungsi-fungsi dari masing-masing Rakyat terlatih itu dalam Penjelasan Pasal 11 Undang-Undang  Nomor: 20 Tahun 1982 diuraikan sebagai berikut:

  1.  fungsi Ketertiban Umum, guna memelihara ketertiban masyarakat, kelancaran roda pemerintahan dan segenap perangkatnya serta kelancaran kegiatan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup,
  2.  fungsi Perlindungan Rakyat, guna menanggulangi gangguan ketertiban hukum maupun gangguan ketenteraman masyarakat;
  3.  fungsi Keamanan Rakyat, guna menanggulangi dan atau meniadakan gangguan keamanan masyarakat atau subversi yang dapat mengakibatkan terganggunya stabilitas keamanan;
  4. fungsi Perlawanan Rakyat, guna menghadapi atau menanggulangi dan menghancurkan musuh yang hendak menduduki atau menguasai wilayah atau sebagian wilayah Republik Indonesia.
Rumusan pembagian fungsi ini bermula dari Keputusan Presiden Nomor: 56 Tahun 1972 yang berisi penyerahan pembinaan organisasi pertahanan sipil dari Departemen Pertahanan Keamanan kepada Departemen Dalam Negeri pada waktu itu. Dengan penetapan ini maka maka pertahanan sipil kemudian berubah menjadi Linmas (perlindungan masyarakat) dan fungsinya sudah disesuaikan dengan fungsi yang ditetapkan oleh International Civil Defence Organization (ICDO), yakni menanggulangi natural or man-made disaster.

Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982. Perlindungan masyarakat merupakan komponen khusus yang berbeda dengan komponen dasar. Dalam Pasal 13 Undang-Undang  Nomor: 20 Tahun 1982 tertulis Perlindungan Masyarakat merupakan komponen khusus kekuatan pertahanan keamanan negara bagi keselamatan masyarakat dalam penyelenggaraan pertahanan keamanan negara, melaksanakan fungsi menanggulangi akibat bencana perang, bencana alam atau bencana lainnya maupun memperkecil akibat malapetaka yang menimbulkan kerugian jiwa dan harta benda.

Penutup: Pertahanan Sipil dalam Sistem Pertahanan Semesta

Mencermati sistem pertahanan semesta yang diatur Undang-Undang 3 Tahun 2002 yang berisi dua subsistem pertahanan militer dan pertahanan nirmiliter, secara eksplisit memang tidak diatur pertahanan sipil sebagai subsistemnya. Namun dengan meraba bahwa bencana merupakan ancaman nonmiliter dan memang seharusnya demikian, serta ancaman nonmiliter dihadapi oleh lembaga di luar fungsi pertahanan, maka pertahanan sipil merupakan sub-subsitem dari subsitem pertahanan negara menghadapi ancaman nonmiliter.


Sebagai sub-subsistem dari subsistem pertahanan nirmiliter, susunan kekuatan pertahanan sipil terdiri dari unsur utama dan didukung oleh unsur lain kekuatan bangsa. Melihat sejarah perkembangan pertahanan sipil yang berkembang terakhir menjadi Linmas, seharusnya unsur utama dimaksud adalah Satuan Perlindungan Masyarakat (Satlinmas). Persoalannya adalah dalam terminologi natural or man-made disaster Satlinmas sebagai unsur utama hanyalah merupakan salah satu kekuatan. Di samping Satlinmas masih ada Badan SAR Nasional, Taruna Siaga Bencana Kemensos, dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).   Siapa yang menjadi unsur utama dan bagaimana mengkoordinasikannya? menjadi persoalan lain yang juga harus dipikirkan.

Unsur lain kekuatan bangsa sifatnya mendukung, seperti halnya peran TNI. Kekuatan untuk menghadapi bencana secara fungsional bukanlah menjadi wilayah fungsi pokok yang diemban oleh militer dhi. TNI. Secara yuridis peran itu diatur dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia dalam Pasal 7 ayat (2) huruf b. sebagai Operasi Militer Selain Perang (OMSP).  Rincian OMSP angka 12. berbunyi: membantu menanggulangi akibat bencana alam, pengungsian, dan pemberian bantuan kemanusiaan. Pengaturan ini baru memberikan landasan strategis, belum memberikan landasan operasional. Bagaimana operasionalisasi OMSP masih perlu dijabarkan lebih lanjut.

Dari gambaran kekuatan pertahanan sipil, unsur utama pelakunya masih belum sepenuhnya jelas? Apa dan siapa yang dimaksud unsur utama pertahanan sipil? menjadi pertanyaan lain lagi. Lebih jauh bagaimana unsur lain kekuatan bangsa dapat berperan mendukung sementara apa dan siapa yang didukung belum jelas otoritasnya? Di sinilah kesimpulan ikutannya: diperlukan doktrin pertahanan nirmiliter, yang berisi proyeksi ancaman nirmiliter, penyelenggaraan pertahanan nirmiliter yang mencakup pembangunan kekuatan, pembinaan kemampuan, dan penggunaan kekuatan, pertahanan nirmiliter, termasuk di dalamnya proyeksi ancaman pertahanan sipil yang merupakan mitigasi bencana, dan penyelenggaraan pertahanan sipil, yang berisi pembangunan kekuatan, pembinaan kemampuan dan penggunaan kekuatan pertahanan sipil.




[1] Chaidir Basri (ed), “Partisipasi Rakyat dalam Usaha Pertahanan Negara”, Jakarta, Puswankamra,1972, hlm: 73.
[2] Komponen rakyat ada lima (Penjelasan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982). Dua yang tidak disebut adalah kelaskaran dan perwira cadangan, yang tugasnya memang pada pertempuran sebagai kekuatan utama bukan sebagai pertahanan sipil.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Standar, Prosedur, Kriteria, PENUTUP