MANDALA PERTAHANAN DAN BELA NEGARA
Pada dasarnya globalisasi dapat menjadi peluang sekaligus dapat menjadi ancaman bagi bangsa
Indonesia. Menjadi
ancaman jika infra struktur ekonomi dan strategi kebudayaan tidak siap
menghadapi serbuan modal dan produk budaya asing yang masuk ke Indonesia, dan
menjadi peluang jika terdapat kesiapan sebaliknya. Belum lagi globalisasi
kemudian menjadi katalis persaingan kekuatan militer, terorisme, senjata pemusnah massal, energy
and security, kejahatan lintas negara, peredaran dan perdagangan narkotika
dan obat-obatan terlarang, bencana alam dan pemanasan global (global warming), persoalan perbatasan wilayah, gerakan separatis dan konflik komunal serta distrust terhadap tatanan kehidupan bangsa yang dapat berkembang
menjadi entropi.
Mencermati
kondisi tersebut, pada dasarnya ancaman nonmiliter lebih mengemuka dibanding ancaman
militer,
sehingga karena watak
dan sifat ancaman nonmiliter yang
lebih
kompleks dan melekat
dalam dinamika kehidupan bangsa menjadi sulit dideteksi. Lebih jauh lagi buah globalisasi
berupa ancaman nonmiliter terfasilitasi oleh aksesi teknologi informasi yang menyediakan
aplikasi-aplikasi mudah dan atraktif merambah ke segala penjuru sudut dunia
melalui internet, sehingga informasi mampu menelusup ke segala strata
masyarakat, mempengaruhi cara berpikir. Hal ini
menjadikan dimensi vertikal ancaman lebih dahsyat ”daya ledak”nya, karena
teknologi informasi telah menggeser sasaran ancaman dari terhadap kedaulatan
negara menjadi ancaman terhadap kedaulatan individu. Pesatnya perkembangan
teknologi informasi telah mendorong pencerahan individu yang sangat mungkin
terjadi pencerahannya tidak sesuai
dengan nilai dan norma budaya bangsa, dan dapat menjadi ancaman.
Jika segenap individu sudah
tercerabut kedaulatannya, maka negara yang dibentuk oleh individu-individu
warga negara menjadi semu alias kalah perang. Negara yang kalah dalam perang
seperti itu adalah negara yang terberangus hajat hidup kebangsaanya, dan
terpojok hanya menjadi seremoni-seremoni dan retorika-retorika kebangsaan yang
tak memiliki roh kebangsaan itu sendiri. Jika pun masih memiliki elan/ semangat
perjuangan, orientasi kebangsaannya kabur tertutup tirai hedonisme kelompok
atau lebih ekstrim individu pemodal korporasi. Negara demikian itu secara de jure tetap tegak berdiri,
tetapi ia secara de facto sudah tidak memiliki kedaulatan dalam segala
aspek kehidupannya.
Operasionalisasi perang menggunakan
teknologi informasi merupakan karakteristik perang baru, disebut cyber war.
Cyber war menjadi perang gerilya bentuk modern, sehingga termasuk asymetric
warfare. Sebagai perang asimetrik, struktur kekuatan dan
operasionalisasinya luwes alias kenyal dan pelakunya bisa individu alias warga
sipil yang tidak berkewenangan, perseorangan yang mampu mengakses, teroris,
aktor non negara, intelijen, hingga militer.
Di sisi lain dengan memanfaatkan daya
informasi para aktor-aktor perang cyber war dapat mengekpresikan
ketidakpuasan untuk membangun gerakan. Hal ini bersifat strategis, karena ketidakmatangan
warga negara menjadi mudah goyah dan gampang direkrut terus diisi atau bahkan negara-negara
yang memiliki kepentingan strategis hanya menempelkan kepentingannya,
melaksanakan war by proxy. War by proxy adalah perang intelijen untuk membentuk sarana, alat,
SDM yang berada di negara sasaran kemudian menggunakannya untuk menciptakan
kerawanan. Oleh sebab itu war by proxy menjadi strategi efisien untuk
memperoleh hegemoni dan keunggulan.
Sementara itu pada dasarnya tidak hanya
teknologi informasi yang membentuk ancaman. Perkembangan teknologi pada umumnya
pun dengan dibarengi kerakusan manusia dapat menampakkan moncong ancamannya. Hedonisme
yang disediakan teknologi dan dianggap sebagai manfaat teknologi, ternyata mendorong
ketamakan manfaat yang mengantarkan manusia pada bahaya pemanasan global (global
warming). Melalui fasilitasi dan mediasi kekuatan kapitalisme, teknologi dipergunakan
untuk mengeksploitasi alam. Eksploitasi berlebihan
membawa dampak tidak hanya terhadap alam seperti pemanasan global, akan tetapi juga
berdampak pada perubahan perilaku dan nilai-nilai sosial. Perubahan perilaku sosial
itu terjadi karena rendahnya daya pada diri manusia dan terjadinya kegagapan
sosial dalam menghadapi perubahan yang sangat cepat, sehingga timbul perasaan
terjebak dalam disparitas keinginan dan kenyataan yang menimbulkan frustasi. Inilah
akar dari terorisme, yang biasanya subur dalam lingkungan primordialismenya.
Seiring dengan dinamika cepat eksploitasi alam,
berkembang dan meningkat pula kebutuhan sumber energi. Pesatnya peningkatan kebutuhan energi
mendorong terjadinya krisis energi, karena semakin menipisnya cadangan minyak,
yang menimbulkan isu energy security. Dalam aras nasional langkanya
sumber energi mengakibatkan lemahnya pelayanan ekonomi dan sosial kepada
masyarakat dan berujung pada konflik sosial. Dalam fora internasional isu energy
security dapat mendorong perebutan sumber daya menimbulkan konflik antar
negara.
Cyber war ditambah dengan energy security,
global warming dan terorism, yang merupakan tiga serangkai ancaman (triple
threat) global dalam menghadapinya memerlukan penguatan rasa
kebangsaan. Seperti halnya diperlukan solidaritas global untuk dapat mengatasi cyber
war dan tiga serangkai ancaman global tersebut, diperlukan pula solidaritas
nasional bangsa. Dalam hal ini kemandirian kebangsaan Indonesia mutlak
diperlukan sehingga terhindar dari peran obyek di tengah persaingan dan
perkembangan yang semakin cepat, sekaligus menjaga integritas nasional.
Secara nasional Indonesia yang majemuk sarat dengan
ancaman efek dari triple threat. Agar kondisi itu tidak berkembang
menjadi penguatan sentimen primordial, penguatan kembali nilai dan norma
kebangsaan dan kesadaran bela negara menjadi prioritas. Demokrasi yang dapat
mendorong keadilan dan kebersamaan harus menjadi nilai dan norma dasar
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Komentar
Posting Komentar