Wawasan Nusantara dalam Perspektif Doktrin Hukum Laut untuk Jiwa Bela Negara Bahari

Sesungguhnyalah jauh sebelum doktrin Closed Sea dan Mare Liberum di Abad XV dan XVI, manusia Indonesia telah mengeksploitasi kebahariannya. Kerajaan Sriwijaya Abad VII telah menancapkan penguasaan bahari di seantero Nusantara, bahkan sampai ke Thailand, Vietnam,  dan Indo China, dan menyusul Kerajaan Majapahit di Abad XIV. Perdagangan di masa itu sudah sangat ramai dan hubungan dagang dengan bangsa India, Arab dan Cina telah demikian intens. Fakta-fakta sejarah itu menjelaskan bahwa doktrin Closed Sea tidak dikenal oleh bangsa Bahari di Nusantara. Justru secara implementatif yang dikenal adalah Mare Liberum. Pelaut-pelaut Sriwijaya pun juga pelaut-pelaut Majapahit di samping memiliki daulat di laut, juga melakukan kontak dagang dengan bangsa Arab, Cina dan India. Laut Nusantara bebas dilayari oleh para pedagang dari seluruh wilayah kontak dagang.

Namun Mare Liberum itu dirusak oleh Portugis dan juga Spanyol, yang bersimaharajalela dengan doktrin Closed Seanya. Bahkan kemudian Mare Liberum bersemangat yang sama dengan Closed Sea, ketika negara asal Mare Liberum justru melakukan monopoli dagang di Oost Indische.  Dari sinilah kemudian kebaharian dan jiwa bela negara bahari Indonesia sepertinya sirna. Perlahan tapi pasti Negara bahari Indonesia tergeser mentalitas hinterland, mentalitas feodal yang sangat mengungkung jiwa bangsa bahari. Muncullah mitos Ratu Pantai Selatan yang semakin menakutkan bangsa Indonesia (baca: Jawa) untuk melaut.

Dalam perkembangannya jiwa bela negara bahari bangsa Indonesia lahir kembali bersama dengan perjuangan mempertahankan kedaulatan serta kemerdekaan. Adalah anak bangsa bernama Hasyim Djalal yang masih menuntut ilmu di State University of Virginia pada tahun 1950-an, merasa prihatin dengan leluasanya kapal-kapal nelayan Jepang memasuki wilayah perairan laut dalam Indonesia mengambil ikan. Keprihatinan itu berbuah ketika pada tanggal 13 Desember 1957 Kabinet Djuanda mendeklarasikan Indonesia sebagai negara kepulauan (archipelagic state). Inilah tonggak awal kebangkitan Indonesia untuk kembali merebut kejayaan kebahariaannya. Deklarasi ini segera dibawa ke konvensi hukum laut pada tahun 1958 dan tahun 1960 di Jenewa oleh Indonesia, sehingga dapat diraih manfaat meluasnya batas laut teritorial dari 3 mil menjadi 12 mil dan berhak atas sumber daya di ”dataran kontinental”, yakni kawasan di luar laut teritorial sampai di kedalaman 200 meter. Adalah duet serasi antara Hasyim Djalal dan Mochtar Kusumaatmadja, yang berhasil mendapatkan pengakuan tentang Wawasan Nusantara dalam suatu kancah perjuangan konferensi hukum laut internasional PBB yang berlangsung sepanjang kurun waktu 1973 sampai dengan 1982. Dengan lahirnya UNCLOS 1982, Wawasan Nusantara secara resmi diakui dunia.

Dalam kelanjutannya, berkah UNCLOS 1982 yang seharusnya dijadikan titik tolak pembangunan jiwa bela negara bahari mendorong pertahanan bahari Indonesia, justru tidak diikuti program aksi yang memungkinkan terwujudnya Wawasan Nusantara. Malah sebaliknya meskipun bukan negara bahari Malaysia menyambut UNCLOS 1982 dengan rencana jangka panjang pembangunan angkatan laut yang selesai pada tahun 2006, dari perubahan semula tahun 2004 karena krisis ekonomi 1998.

Dengan kondisi demikian itu dapat dikatakan jiwa bela negara bahari bangsa Indonesia dari era semasa Closed Sea hingga Doktrin Mare Liberum berlangsung dinamis. Hal ini terjadi memang karena rendahnya kontak antara si pemilik doktrin dengan Nusantara. Doktrin Closed Sea hanya berlaku bagi ”mereka”, ”kita” pada masanya tidak mengenal, sehingga di era doktrin Closed Sea, daulat kebaharian bangsa di Nusantara adalah daulat penuh dalam berbagai aspeknya. Seperti yang dikemukakan van Leur yang dikutip DH. Burger, secara politik dengan kekuasaannya para raja serta kepala negeri dapat menarik cukai dan bea terhadap pemasukan dan pengeluaran barang, bahkan sampai pada hak rampas di pantai bila ada kapal dagang yang terdampar.

Dalam perkembangannya penguasaan lautan Nusantara tidak dapat lepas dari pengaruh doktrin Closed Sea dan doktrin Mare Liberum sebagai doktrin ikutannya. Sesungguhnyalah dalam praktek kepentingan, dua doktrin itu tidak berbeda sebagai pembenaran untuk melakukan hegemoni. Saat mulainya persentuhan intens dengan pelaut Eropa yakni Portugis dan Spanyol, karena ketertarikan rempah-rempah di Nusantara, daulat bahari Nusantara secara perlahan terdesak, dan tercengkeram kuat hingga 350 tahun oleh Belanda. Seluruh kekayaan sumber daya alam disedot, dan menjadi sumber penggerak kemajuan dan kegemilangan Eropa yang diawali dengan Renaissance, dan kemudian digerakkan oleh revolusi industri.

Hal demikian berlangsung hingga sekarang, dan masih terdapat ketimpangan dalam teknologi, etos kerja, dan bagi hasil yang nyata-nyata merugikan negara-negara penghasil bahan mentah. Kekayaan laut Nusantara tidak terlepas dari eksploitasi itu bersama-sama eksploitasi di belahan dunia yang lain. Sebagai akibatnya terdapat gejala nyata dan nampak akibat eksploitasi tanpa kendali, yakni pemanasan global (global warming) dengan ujungnya sebuah ”kemarahan alam” dalam wujud naiknya permukaan laut, badai di mana-mana, tsunami, gempa bumi dan lain sebagainya..

Beberapa tahun sebelum isu global warming menjadi kenyataan seperti sekarang ini, tepatnya 1992 sudah muncul embrio doktrin baru yang menggugat Mare Liberum dengan konsep common prosperitynya. Laut dalam konsep common prosperity ternyata adalah pembenaran terhadap penguasaan atas ruang laut dan sumber daya di dalamnya, yang mengakibatkan ketimpangan dalam ekploitasi sebagai ikutan dari ketimpangan penguasaan teknologi. Global warming yang mengena ke pada seluruh umat manusia, kemudian mendorong muncul konsep bahwa lautan dan sumber daya lautan adalah ”warisan umat manusia”.  Semua bangsa di dunia mempunyai hak yang sama untuk menikmati kekayaan yang berada di lautan, meskipun sebuah negara tidak memiliki wilayah laut. Konsep ini muncul dalam KTT Bumi 1992, karena keprihatinan umat manusia akan musnahnya sumber daya lautan (darat dan laut) jika tidak dikelola secara berkelanjutan (sustainable development). Sebagai kristalisasi dari dari konsep itu lahir Doktrin Mare Riversum pada tahun 2003.

Nampaknya dengan doktrin baru Mare Riversum ini pun sekarang dan ke depan Indonesia masih harus bekerja keras untuk mendapatkan kembali jiwa bela negara bahari dan daulat baharinya. Sejak hilang dan dirampasnya daulat bahari melalui penerapan doktrin Closed Sea dan kemudian Mare Liberum oleh bangsa Eropa tonggak Wawasan Nusantara masih menyimpan agenda besar, karena Mare Reversum menghendaki pelestarian lautan dan sumber daya lautan, melalui manajemen sustainable development. Hal ini diimplementasikan dengan ecolabelling untuk produk kelautan dan perikanan, dengan standar yang ditentukan oleh negara konsumen, yang tidak lain adalah Eropa.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Standar, Prosedur, Kriteria, PENUTUP